Sosok di balik pintu yang masih dengan pakainnya kemarin sebelum berangkat, kemeja biru dan celana hitam. Astaga! Lalu yang semalam siapa?
Tidak mungkin jika Mas Ahmad ke masjid dengan pakaian seperti ini, Mas Ahmad terlihat baru saja habis bepergian, terlihat dari sepatu yang ia kenakan.
Aku mencoba berpikir positif, bisa saja Mas Ahmad pergi karena ada keperluan sebelum aku bangun subuh tadi.
Namun, tetap saja hatiku bertentangan dengan pikiranku, sudut terdalamku mengatakan bahwa yang semalam memang bukanlah suamiku.
Kakiku lemas, dengan sekuat tenaga aku mencoba menopang tubuhku, namun pada akhirnya, aku hampir saja terjatuh jika Mas Ahmad tak merengkuhku segera.
"Dek, Kamu kenapa? Sakitkah?" tanyanya.
Kemudian memapahku untuk duduk di kursi tamu.
Dinginnya buliran embun tak dapat memadamkan panasnya gejolak dalam hati.
"Hei kamu kenapa?" tanyanya lagi, tangannya menangkup kedua pipiku, dan mendongakkan wajahku.
Saat mata kami bertemu, nyaliku menciut. Aku tak sanggup menatapnya. Bahkan untuk menjawab pertanyaannya saja lidahku terasa kelu.
"Kamu marah kah?" ujarnya lagi.
"Ka-kamu dari mana?" tanyaku gagu.
"Maaf ya, Dek. Teleponku tadi malem kehabisan batre, jadi ngga bisa hubungin kamu kalo aku nginep di rumah Paklek."
"Tau sendiri 'kan, aku paling nggak bisa kena air hujan, takutnya demam. Jadi aku memutuskan untuk bermalam di rumah Paklek Aji." Imbuhnya lagi.
Deg!
Ucapan Mas Ahmad tadi bagai sebilah belati yang menyayat dan membelah bongkahan hati, jika Mas Ahmad menginap di rumah Paklek Aji, lalu yang semalam siapa?!
"Ka-kamu ngi-nep di rumah pak-lek?" tanyaku sekali lagi, dengan suara gagu. Berusaha menata hati dan pikiran.
Mas Ahmad mengangguk.
Bagaimanapun, aku tidak mungkin menceritakan semua ini pada Mas Ahmad. Tidak! Tidak mungkin. Lagipun, bisa jadi yang semalam hanya lah kehaluanku saja.
Ya! Yang semalam bukanlah nyata, hanya hayalan semata, mungkin karena aku terlalu memikirkan Mas Ahmad.
Aku menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan. Ya! Harus tetap tenang! Karena yang semalam hanya lah kehaluanku saja, batinku meyakinkan diri.
"Mas ngapain ke sana?" tanyaku lagi, kali ini suaraku sudah cukup tenang.
"Semalam, aku ke rumah Paklek Aji untuk meminta bantuan mengatasi masalah ini, namun, menurut Paklek Aji jalan satu-satunya adalah dengan menggali kembali makam Mbah Ridwan, untuk menurunkan ilmunya ini pada turunannya yang terpilih."
Aku menganga mendengar penjelasannya.
Keturunan satu-satunya Mbah Ridwan hanya Hasbi, dan bagaimana mungkin lelaki polos sepertinya sanggup menerima beban yang bahkan tak pernah ia ketahui sebelumnya.
"Kenapa harus dibongkar, Mas?"
"Karena untuk menurunkan ilmu ini harus ada kedua belah pihak. Jikapun hanya jasad, itu bukan masalah karena masih ada Mbah Buyut, karena Mbah Buyut lah sumbernya. Itu yang dikatakan Paklek Aji."
Paklek Aji adalah saudara jauh suami. Memang beliau terkadang mengobati seseorang yang berpenyakit aneh, salah satunya ilmu hitam. Bisa juga disebut dengan Dukun, tapi bisa kupastikan jika semua yang dilakukan Paklek Aji tidak ada yang bertentangan dengan syariat islam.
"Ehm, aku kaget aja Mas Ahmad baru pulang." Ujarku asal.
"Aku mandi dulu, ya!" Ujarnya, mengusap rambutku pelan kemudian berlalu.
Aku masih termangu di tempat duduk, menatap punggung tegap itu hingga menghilang di balik tirai.
Sesaat pikiranku tertuju dengan kejadian semalam, bagaimana aku bisa mengelak jika kejadian itu hanya lah imajinasiku, jika hatiku saja meyakinkan bahwa yang semalam memanglah nyata adanya.
Kenapa harus aku yang dihadapi dengan berbagai macam hal di luar nalar seperti ini.
Aku tersadar dari lamunan saat mendengar tangisan Kamil, mungkin karena tadi dia memanggilku, namun aku tak mendengarnya. Aku pun beranjak ke kamar menghampirinya.
Namun, lagi-lagi aku harus dikejutkan dengan pemandangan yang terjadi di kamar.
Ya Allah! Apalahi ini?!
Benyak bekas kaki mirip seperti kaki bebek, sepertinya pemilik jejak baru saja menginjak tanah basah, terlihat dari bekas kaki itu yang berwarna merah kecoklatan.
Jantungku berdegup dengan kencang, lama-lama aku bisa stres jika setiap hari disuguhi dengan hal-hal aneh di luar nalar.
Sebetulnya salahku apa? Kenapa aku harus dihadapi dengan hal-hal seperti ini. Aku hanya lah pendatang, dan tidak tau seluk beluk keluarga ini. Namun, kenapa justru aku yang di teror.
Mataku masih tertuju pada jejak kaki-kaki itu, lama aku berpikir. Jika bekas kaki bebek, itu tidak memungkinkan. Jejak kaki itu terlalu besar untuk seukuran bebek, dan lagi bagaimana bisa seeokor bebek bisa masuk ke dalam kamar, sedangkan jendela kututup rapat.
Lama aku berpikir, tiba-tiba ingatanku tertuju pada makhluk aneh itu, 'peliharaan' Mbah Ridwan. Pemilik kaki seperti sayap kelelawar, yah! Jejak kaki ini sangat mirip dengan kaki makhluk itu.
Astaga!
Itu artinya ... .
Aku menelan ludah gusar.
Kesadaranku sedikit kembali saat mendengar panggilan putraku Kamil, namun tetap saja tidak bisa mengalihkan pandanganku dari jejak kaki-kaki itu.