Part 1 Perempuan yang di Rahasiakan
Perempuan Rahasia
Part 1 Perempuan yang di Rahasiakan

"Apa enaknya jadi perempuan simpanan?" tanya seorang perempuan bernama Tati pada sahabat karib yang duduk di depannya. Mereka sedang menikmati makan siang di sebuah kantin kantor. Dua porsi soto Lamongan dan dua gelas minuman.

"Nggak ada yang enak," jawab wanita berhijab biru itu sambil tersenyum getir.

"Dia juga bukan bos pemilik perusahaan yang bisa membuatmu hidup mewah."

Wanita bernama Inaya menyesap teh hangatnya. Memang, pria bernama Andra yang menikahinya secara siri setahun yang lalu bukanlah seorang pengusaha kaya raya yang hidupnya bak sultan. Dia hanyalah seorang chief engineer yang bekerja pada perusahaan manufaktur di kota kecil mereka. Pria berusia tiga puluh tujuh tahun yang sangat bersahaja dan membuatnya nyaman di sisinya. Cinta yang berbicara, bukan harta.

Dia pria pernyayang yang sangat bertanggung jawab. Pria dua anak yang hidup terpisah dari istri pertamanya. Istrinya anak seorang tuan tanah dan pemilik ruko yang menyebar di ibu kota itu tidak mau diajak hidup di kota kecil tempat suaminya bekerja. 

Sudah empat tahun ini Andra ditugaskan di cabang perusahaan yang berada di kota kecil, di kaki sebuah gunung tempat Inaya tinggal. 

"Suamimu cuti berapa hari?" tanya Tati lagi.

"Seperti biasa, seminggu."

Andra akan pulang ke ibukota tiga bulan sekali, terkadang juga dua bulan sekali. Dia rutin mengunjungi istri dan anaknya di waktu cuti yang diberikan perusahaan padanya.

"Kamu nggak takut kalau suatu saat istrinya akan tahu dirimu. Tahu pernikahan kalian? Bahkan jika keluarga besarnya juga tahu."

Inaya kembali menyesap teh hangatnya. Detak jantungnya tiba-tiba bertalu menimbulkan rasa cemas yang berlebihan. Ada perasaan takut kehilangan, bukan takut di serang secara brutal oleh istri pertama suaminya, seperti kebanyakan yang terjadi. Inaya hanya takut ditinggalkan oleh pria yang sangat dicintainya.

"Selama ini aman-aman saja."

"Nggak selamanya kebohongan akan selamat Naya. Kamu tahu, sepandai-pandainya tupai melompat pasti ada masanya akan terjatuh juga. Aku kasihan sama kamu. Kenapa kamu mesti milih Andra, sedangkan ada Arsyaka yang menyukaimu sejak dulu."

Inaya memandang Tati sejenak, kemudian kembali menunduk sambil memainkan sendok untuk mengaduk teh hangatnya. Arsyaka adalah saudara jauhnya Tati, anak pemilik peternakan sapi perah itu memang menyukainya sejak cowok itu masih kuliah sedangkan dirinya masih SMA. Hanya saja Tati tidak tahu, kalau ibunya lelaki itu pernah menemuinya diam-diam dan memintanya untuk menjauhi sang putra. "Jauhi putraku, aku nggak ingin punya menantu yang nggak jelas bapaknya." Kalimat itu masih terngiang di telinganya. Sangat menyakitkan bagi Inaya. 

Kalau boleh memilih dia juga ingin terlahir dari keluarga yang utuh. Hampir semua orang mengira kalau Inaya tidak memiliki ayah. Padahal ayahnya meninggal saat Inaya berumur tiga bulan dalam kandungan ibunya. Waktu itu ibunya merantau dan kenal ayahnya di perantauan, menikah di sana dan ketika pulang ibunya telah membawa bayi kecil. Inaya Ayu Sekartaji. Hanya sebagian saja yang percaya kalau Inaya lahir dari pernikahan yang sah. Selebihnya, mereka lebih percaya kalau Inaya anak haram. 

"Naya, kamu nggak takut kalau hamil?"

"Aku jaga diri. Aku belum berniat memiliki anak." 

"Mas Andra melarangmu hamil?"

"Aku dan Mas Andra nggak pernah membicarakan tentang anak. Kami enjoy dengan kehidupan yang kami jalani."

"Nggak mungkin selamanya kamu seperti ini. Kamu harus memikirkan masa depan. Bukan ... bukan aku bilang kamu dan Mas Andra nggak punya masa depan, tapi ...."

"Ya, aku paham," sahut Inaya cepat.

Tati menarik napas sejenak, kemudian menghabiskan es tehnya yang tinggal separuh. Dia iba melihat Inaya, walaupun dia juga mengakui kalau Andra pun tidak main-main. Dia bisa tahu bagaimana pria itu mencintai sahabatnya, dari cara memandang saja bisa di raba, kalau Andra memiliki perasaan yang besar pada Inaya. Mungkin sebesar itu juga dia mencintai keluarganya yang di sana.

Inaya juga paham kekhawatiran Tati, gadis itu tahu banyak tentang dirinya. Tidak bosan-bosannya memberikan nasehat dan beberapa pandangan. Namun cinta kadang mengalahkan logika apa saja. Entah sampai kapan dia akan jadi perempuan rahasianya Andra Andriansyah. Sampai pria itu bosan dan kembali pada perempuan pertamanya? Atau sampai Andra dipindah tugaskan lagi ke kantor pusat? Entahlah. 

Membayangkan itu, dia harus siap untuk terluka.

"Kalau Mas Andra mau berterus terang dengan istrinya dan wanita itu bisa menerimamu, kurasa kalian bisa menjalani poligami secara baik-baik. Seperti Pak Rofiq dengan dua istrinya. Mereka praktisi poligami yang sukses, satu sama lain saling menghargai dan menghormati." Tati mengulas tentang tetangga di desa mereka. Walaupun tidak hidup satu rumah, tapi istri-istri Pak Rofiq hidup rukun saling membantu. Anak-anaknya juga akur.

"Tapi apa mungkin istri Mas Andra mau, sedangkan dia sudah dibohongi hampir setahun ini?" kata Tati lagi.

"Aku nggak bermaksud mengacaukan kamu, Naya. Aku care denganmu. Aku nggak ingin kamu terluka."

Inaya menghela napas panjang. Kalau bukan Tati yang bicara, ingin saja Naya pergi dari sana. Sebenarnya sahabatnya itu bicara realita, hanya saja terlalu sensitif bagi Inaya. Dia hanya butuh semangat agar kuat menjalani pernikahan penuh rahasia ini. Sebab mundur pun dia belum sanggup, dan Andra tidak mungkin melepasnya begitu saja. Inaya paham maksud Tati, gadis itu tidak pernah bosan turut memperjuangkan perasaan saudaranya, Arsyaka Abimanyu. Pria yang masih setia menunggunya.

Ponsel Inaya yang berdering di atas meja membuat kedua wanita itu menatap benda pipih yang bergegar.

"Suamimu telepon tuh!" tunjuk Tati.

Inaya hanya memandang benda yang berpendar itu tanpa berniat menjawabnya. Dadanya justru berdebar-debar karena tidak biasanya Andra meneleponnya ketika pulang ke rumah. Jangan-jangan istri suaminya yang menelepon, karena telah mencium gelagat hubungannya dengan Andra.

Di biarkannya hingga benda itu padam nyalanya. Kemudian masuk lagi panggilan kedua, Inaya tetap diam.

"Kenapa nggak kamu angkat?" tanya Tati.

"Biar saja."

Panggilan berlanjut hingga kali ke empat. Kemudian masuk sebuah pesan. Itu pun Inaya tidak berani membukanya. Dia melihat dari jendela notifikasi.

[Sayang, angkat teleponnya.]

Dilihat dari cara menulis pesan, itu memang suaminya yang mengetik. Tapi Inaya tetap memilih membiarkan. Lebih baik dia menunggu hingga Andra kembali, daripada salah pertimbangan yang akan membuat hubungannya dengan Andra berantakan. Inaya belum sanggup kehilangan. Lebih baik dia menahan rindu dalam beberapa hari lagi.

Ponsel di masukkannya dalam saku celana kerja. Kemudian melihat jam tangan di lengan kirinya. "Sudah habis waktu istirahat. Ayo, masuk!" ajak Inaya pada sahabatnya. Mereka bekerja di sebuah kantor Perusahaan Air Minum. 

Kedua wanita itu meninggalkan kantin dan kembali ke kantor yang jaraknya hanya dua puluh meter dari pintu utama kantor. Tak ada lagi percakapan melanjutkan pembahasan tadi.

💐💐💐

Di sebuah sofa rumah bergaya kolonial, seorang laki-laki duduk dengan kaki terangkat di bahu sofa sambil menatap jendela yang terbuka. Angin siang itu mengirimkan hawa panas yang membuatnya berkeringat. Padahal pepohonan besar di samping rumah cukup rindang, namun rasa gerah masih terasa. Apa mungkin karena perasaannya saja?

"Siapa yang kamu telepon tadi?" tanya seorang perempuan usia sekitar enam puluhan sambil meletakkan secangkir teh kental hangat.

Andra sekilas memandang sang mama. "Teman, Ma."

"Teman?" tanya wanita itu penuh selidik. Nalurinya sebagai wanita dan seorang ibu tidak bisa dibohongi.

"Iya, teman kerja."

"Teman istimewa?"

Andra tersenyum hambar sambil menegakkan duduk lalu meraih gagang cangkir dan menyesap teh hangat beraroma melati kesukaannya. Pikirannya terbang pada sosok Inaya yang selalu menyuguhkan teh beraroma sama.

"Bukan. Teman kerja."

"Mama tahu hati kamu tidak hanya milik Marina sekarang. Hati kamu sudah bercabang, Nak."

"Mama, bisa aja. Itu hanya perasaan Mama saja," elak Andra.

"Siapa gadis itu?"

Andra menggeleng. Pada siapapun dia tidak akan cerita mengenai Inaya. Dia akan melindungi wanita yang telah dinikahinya setahun yang lalu. Wanita yang dengan sabar merawatnya saat dia sakit liver berbulan-bulan.

Wanita yang siang malam mendampinginya dengan sabar dan telaten demi kesembuhannya. Sementara istrinya yang di kabari hanya menyambangi dua hari kemudian kembali pulang dengan alasan papanya juga sedang di rawat di rumah sakit akhibat serangan jantung. "Aku nggak ingin menyesal nggak bisa merawat papa, Mas. Sakit Mas nggak separah sakitnya Papa." Itu alasannya Marina.

"Jangan bohongi Mamamu ini. Hatimu sedang bercabang, Andra."

Andra tidak bisa menyangkal lagi tapi juga tidak mengiyakan. Andra diam sambil menatap ke luar jendela. Bu Safitri memperhatikan. Beliau melihat kegelisahan di wajah sang putra. "Kenapa tadi anak-anak nggak kamu ajak ke mari?"

"Mereka kan masih sekolah, Ma."

"Oh iya, Mama sudah pikun." Wanita itu terkekeh.

"Mama kangen sama mereka. Marina jarang sekali mengajak anak-anakmu ke mari. Ke sini pun yang nganter kadang sopir. Oh ya, kedua mertuamu sehat, 'kan?"

"Alhamdulillah sehat, Ma."

Bu Safitri mengangguk-angguk. Wanita itu kemudian bangkit dari duduknya. "Mama siapin makan siang dulu."

Sepeninggal mamanya, Andra kembali ke posisi semula, setengah rebah di sofa. Memandang dedaunan yang di embus angin di luar sana dari jendela-jendela yang daun pintunya terbuka. Rumah bergaya kolonial itu memiliki banyak jendela.

Dia tidak mungkin selamanya menyembunyikan Inaya dari mamanya. Wanita itu tidak akan berhenti bertanya karena memang sudah mencurigainya. Feeling ibunya benar-benar tajam. Justru istrinya sendiri tidak memiliki insting seperti itu. Kenapa? Apa karena dia sangat mempercayai suaminya? Atau rasa di antara mereka sudah memudar.

Tidak. Marina masih melayaninya dengan sangat baik tiap dia pulang. Perasaan bersalah terkadang sangat mengganggunya, karena diam-diam telah membagi hatinya pada wanita lain.

Seandainya saja, Marina mau diajak pindah, mungkin dirinya tidak akan mendua, tidak akan jatuh cinta lagi pada gadis lereng gunung itu. Tidak akan ada rasa bersalah pada dua wanita yang memiliki hatinya. 

Telah berulang kali Marina menolak ajakannya untuk pindah mengikuti tugasnya. Alasannya karena orang tua tidak mengizinkan Marina ikut suaminya. Padahal Marina sendiri juga tidak ingin tinggal di kota kecil yang fasilitas di sana kurang memadai, baginya. Anak-anaknya juga tidak akan mendapat pendidikan yang layak di sana, katanya.

Sementara Andra sendiri tidak mungkin menolak perintah dari atasan yang merupakan bapak angkatnya sendiri. Orang yang telah membuatnya sukses seperti sekarang ini. "Tunjukkan pada mertuamu, kalau kamu bisa sukses dan layak menjadi menantu mereka. Biar keluarga besar istrimu tak lagi merendahkanmu."

Andra kembali meraih ponselnya. Tetap sepi. Tidak ada notif Inaya menelepon balik atau sekedar membalas pesan. Wanita itu patuh pada permintaannya dulu, kalau dirinya melarang Inaya menghubungi saat dia pulang. Demi menjaga agar hubungan mereka tetap baik-baik saja.

Inaya, sangat tahu posisinya sebagai perempuan kedua. Dia wanita yang tidak banyak menuntut. Hidupnya sederhana. Padahal selain uang nafkah yang tidak sedikit darinya, dia juga punya gaji dari perusahaan tempatnya bekerja. Namun hidup apa adanya menjadi pilihan wanita cantik bermata bening itu.

"Andra, ayo makan dulu, Nak!" Bu Safitri memanggil dari ruang makan. Andra segera berdiri dan melangkah ke belakang. Sejak dulu, dirinya tetap menjadi anak yang patuh, tidak membiarkan ibunya menunggu lama saat memanggil dirinya.

💐💐💐

Angin sore berembus sepoi-sepoi. Menggoyangkan dedaunan dan hamparan tanaman padi yang masih menghijau bak hamparan permadani. Inaya mengendarai motornya dengan kecepatan sedang melewati jalan desa yang membelah persawahan. Inaya menikmati sejuknya angin sore yang mengibarkan jilbab warna biru, seragam kerjanya. Di ujung barat sana, matahari masih bersinar kekuningan.

Seperti biasa, tiap kali Andra tidak di rumah, Inaya akan menginap di rumah ibunya, barang semalam atau dua malam. Hari-hari biasanya, dia akan tinggal di rumah yang di kontrak Andra untuk mereka berdua.

Motor matic langsung di parkir di teras samping rumah. Seorang laki-laki umur enam puluhan tergopoh-gopoh dari kebun belakang menghampiri Inaya. Beliau Pak Redjo, bapak tirinya Inaya. Laki-laki yang merawat wanita itu sejak umur dua tahun dan menganggap Inaya seperti putri kandungnya sendiri. Sedangkan beliau sendiri tidak memiliki putra sejak menikah dengan Bu Siti, ibunya Inaya.

"Assalamu'alaikum, Pak." Inaya mengucapkan salam sambil mencium tangan bapaknya dengan takzim.

"Wa'alaikumsalam, Nduk. Baru nyampe to?"

"Njih, Pak. Baru dari kerjaan langsung ke sini. Kok sepi, ibuk mana, Pak?" tanya Inara sambil duduk di amben yang ada di teras itu.

"Ibumu masih nganter kacang panjang di tokonya Bu Joko. Kamu sendirian? Suamimu pulang?"

Inaya mengangguk.

"Ayo masuk, kamu mau nginap di sini, to?"

"Njih, Pak."

Bapak dan anak masuk lewat pintu samping. Pak Redjo menyalakan saklar-saklar lampu luar, sedangkan Inaya langsung masuk ke kamarnya. Wanita itu meletakkan tas selempang di atas meja, kemudian menuju jendela. Menatap tanaman sayur yang berada di kebun samping kamarnya.

Di ambilnya ponsel di saku celana bahannya. Tidak ada lagi panggilan masuk atau pun pesan dari Andra. Saat seperti ini, pasti pria itu sedang menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilnya. Inaya tersenyum getir, tidak ada yang di sesali. Semua sudah dipikirkan sejak dia memutuskan menerima lamaran Andra.

💐💐💐

"Cantik-cantik kok mau-maunya jadi istri kedua. Kayak nggak ada pemuda ganteng saja di desa kita ini!" sindir seorang ibu bertubuh subur yang memakai daster Kencono Wungu. 

Inara yang baru keluar dari warung Mbok Gemi berjalan menunduk sambil menggenggam erat kantung plastik wadah tiga bungkus nasi uduk yang di belinya. Suara wanita itu sangat jelas di telinganya.

Harusnya dia tadi mendengarkan larangan ibunya agar tidak berangkat beli sarapan. Bahkan bapaknya yang akan pergi tadi, tapi Inaya yang ngotot mau pergi sendiri. Kangen ingin bertemu Mbok Gemi yang sangat baik padanya selama ini.

Padahal setahun sudah berlalu, tapi mereka belum berhenti mencibirnya karena menjadi istri kedua. Kemarin-kemarin dia sudah memasa bodohkan sindiran mereka. Entah kenapa pagi ini dia merasakan sedih.

"Naya," panggil seorang laki-laki yang melambatkan mengayuh sepedanya dan menjajari Inaya.

"Mas Arsya."

Arsyaka tersenyum. "Dari mana?"

"Ini, dari warung Mbok Gemi beli sarapan." Inaya mengangkat bungkusan yang di bawanya.

"Nggak kerja?"

"Kerja. Habis ini berangkat."

"Kamu di sini sama suamimu?"

"Sendirian."

"Oh."

Jarak rumah dan warung Mbok Gemi sekitar seratus meter. Melewati pekarangan dan beberapa rumah tetangga. Ketika sampai di rumah besar bercat kuning, Inaya mempercepat langkahnya agar pemilik rumah itu tidak melihatnya berjalan beriringan dengan Arsyaka. Perempuan pemilik rumah itu adalah buliknya Arsyaka, yang tak segan menyerang karena Inaya dekat dengan keponakannya.

"Mas, aku duluan," pamit Inaya mendahului pria itu. Arsyaka yang paham hanya mengangguk dan membiarkan Inaya pergi lebih dulu. 

Setelah meletakkan sarapan di meja makan. Inaya bergegas masuk kamar untuk ganti seragam kerja. Dia ingin berangkat lebih cepat dan membawa sarapannya ke kantor. Saat melepaskan bergo yang dipakainya, ponsel yang ada di atas kasur berdering. Nomor tanpa nama. Inaya tidak berani mengangkat dan hanya memandangi hingga layar kembali gelap. Siapa yang meneleponnya? Selama ini hampir tidak pernah dia menerima panggilan dari nomer baru.

Next ....

Note : 2.318 kata

Selamat datang di cerbung baru saya ya, man-teman. Dengan tema berbeda dari sebelumnya.

Selamat membaca 😍


Komentar

Login untuk melihat komentar!