Part 5 Hati Seorang Perempuan
Ketika Hati Lelaki Mendua
Part 5 Hati Seorang Perempuan

"Andra sudah balik, ya?" tanya Lia pada Marina, ketika wanita itu bertemu saat menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka duduk di halte depan sekolahan.

"Sudah."

"Kapan?"

"Kemarin."

"Kamu ini bisanya anteng begini jauhan sama suami. Nggak takut suami nyabang sama yang lain? Yang ditunggui aja bisa belok arah apalagi yang berjauhan."

Marina menggeleng sambil tersenyum. "Nggak mungkin Mas Andra melakukan itu. Dia mau nyari yang kayak gimana lagi."

"Jangan ngremehin laki-laki. Sejelek apapun dia, pasti laku. Apalagi kayak Andra. Tampan, gagah, dan karirnya juga bagus. Kalau aku jadi kamu, kuikuti terus ke mana dia pergi."

Marina termenung. Ada yang membuat hatinya tersentil. Hati kecilnya mulai risau mendengar ucapan temannya. Selama ini dia tidak kepikiran sampai ke situ. Bahkan nasehat mertuanya juga di abaikan. Dia percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia cantik, kaya, dan Andra mesti berpikir berulang kali untuk mendua. Apa tidak takut, jika label menjadi menantu orang kaya lepas begitu saja. 

"Lakimu itu masih muda. Apa mungkin bisa tahan nggak begituan dalam waktu berbulan-bulan. Bulsyit itu, Rin. Laki butuh pendamping yang bisa berbagi dengannya. Nggak melulu soal ranjang. Dia butuh teman yang setiap saat mau berbagi cerita dengannya. Apalagi kalau kerjaannya menguras pikiran. Jangan sampai nyesel kalau dia tergoda oleh perhatian perempuan lain. Nangis darah juga percuma kalau hati suamimu terlanjur mendua."

Marina memandang sahabat yang duduk di sebelahnya. "Kamu jangan nakut-nakutin aku deh, Lia."

"Helloooo, siapa yang nakutin. Kita bicara secara realistis sajalah, Rin. Kalau Andra gila harta, sudah lama dia gabung sama bisnis keluarga kamu. Buktinya dia merintis sendiri kariernya. Dia lelaki yang punya harga diri." Lia memberikan penekanan pada kalimat terakhir. Sebab wanita itu sangat paham bagaimana keluarga Marina meremehkan Andra. Mereka bertiga berteman cukup lama. Jadi sudah banyak paham kehidupan mereka. Ibunya Lia juga teman baik mamanya Marina. Wanita sosialita itu sering membicarakan tentang kehidupan menantunya. Bahkan sempat bilang, jika dulu tidak begitu setuju memiliki menantu dari kalangan kelas bawah. Tapi papanya Marina meyakinkan istrinya, bahwa Andra bisa di manfaatkan karena memiliki kemampuan di atas rata-rata. Nyatanya Andra tidak mudah di pengaruhi. Pria itu bisa membaca gelagat mertua setelah menjadi menantunya. Makanya mereka melarang Marina ikut dengan suaminya.

"Kamu udah pernah kan nyusul Andra waktu dia sakit itu?"

Marina mengangguk.

"Apa tempat tinggalnya menyeramkan? Di tengah hutan? Nggak kan? Jadi menurutku salah kalau kamu menolak ikut. Gaji suamimu cukup buat menghidupi kalian. Pikirkan lagi sebelum kamu menyesal. Bagaimana kalau dia 'jajan' di luar? Atau malah menikah lagi?"

Pembicaraan mereka terhenti saat terdengar bunyi bel dan sebentar kemudian anak-anak kelas satu berhamburan keluar kelas. Kiki yang sudah hafal di mana biasanya sang mama menjemput berlari ke arah Marina. Bersama seorang anak lelaki, anaknya Lia. Nanti Amel pulang jam dua belas siang dan yang menjemput biasanya sopir.

Dalam perjalanan pulang sambil nyetir mobil, Marina kepikiran dengan ucapan sahabatnya. Padahal tidak kali ini saja Lia mengingatkannya. Sering malah. Tapi baru kali ini benar-benar mengena di benaknya. Ada rasa takut kehilangan, tapi di sisi lain enggan untuk tinggal di sana.

Sesampainya di rumah segera diambilnya ponsel yang tadi sengaja di tinggal. Di aplikasi pesan, suaminya terakhir online sepuluh menit yang lalu. Marina segera melakukan panggilan. Tidak menunggu lama, Andra menjawabnya. "Halo, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Mas, lagi di kantor ini?"

"Iya. Mas lagi persiapan mau meeting sepuluh menit lagi. Ada apa? Kiki sudah pulang?"

"Sudah, barusan kujemput. Mas, sudah bicara dengan Pak Yusa? Bisa pindah kerja, nggak?"

"Belum sempat Mas bicara sama beliau. Kita harus membicarakan hal ini dengan serius. Mas akan pulang saat Amel ulang tahun bulan depan."

"Baiklah, aku tunggu."

"Mas meeting dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Marina meletakkan kembali ponselnya di atas meja rias. Orang tuanya pasti tetap pada larangan agar dirinya tidak boleh ikut suaminya. Sekarang bagaimana caranya agar Andra bisa pindah sesuai kemauannya. Kata-kata Lia tadi masih terngiang jelas di telinganya. Dia mengingat-ingat apa yang janggal pada Andra akhir-akhir ini. Ya, Andra tak lagi getol mengajaknya pindah. Kecuali kemarin, masih sempat bilang kalau misalnya Andra bisa pindah, apakah dirinya mau tinggal di rumah mereka? 

💐💐💐

Inaya membuka bekalnya dari rumah. Tati pun sama, hari ini dia juga membawa bekal. Wanita itu memperhatikan wajah sahabatnya yang muram, padahal Andra sudah pulang. "Kamu kenapa?" tanya Tati.

"Nggak ada apa-apa."

"Nggak usah bohong. Wajahmu itu nggak bisa menipuku, Naya. Kita tuh berteman sejak lahir ke dunia. Aku paham kamu tuh bagaimana. Kamu ada masalah sama Mas Andra?"

"Nggak ada. Ayo, makanlah dulu. Nanti aku cerita." Inaya mulai menyuap nasinya. Pun begitu dengan Tati. Mereka tidak makan di kantin, tapi di dekat gudang belakang. Di sana juga ada beberapa pekerja yang sedang makan siang. Hanya saja duduk mereka berjarak. Mencari tempat nyaman masing-masing.

Setelah meneguk air putih di botol, Inaya menceritakan rencana kedatangan mama dari suaminya. Tentang kemarahan wanita itu pada putranya, juga keinginan untuk bertemu langsung dengan Inaya.

"Kamu takut?" 

"Aku siap kok bertemu beliau. Apapun itu, aku tetap harus menghadapinya."

"Ya, kamu memang harus siap. Seorang ibu pasti kecewa anaknya menikah lagi diam-diam. Tapi jangan khawatir, meski aku dulu menentang keras keputusanmu menikah dengan Mas Andra, tapi aku selalu ada untukmu. Kamu jangan takut sendirian."

Inaya tersenyum dan terbaru. "Terima kasih, Ta," kata Inaya sambil memandang teman yang duduk berhadapan di tikar dengannya. Dia ingat saat Tati marah bahkan tidak menegurnya hampir sebulan gara-gara Inaya memutuskan menikah dengan Andra. 

Dia teringat kata-kata sahabatnya itu. "Kamu masih muda, cantik, dan pintar. Menikahlah dengan pria yang masih single. Bukan menikah diam-diam dengan pria beristri, meski alasan kalian karena cinta setengah mati." Inaya juga teringat saat orang tuanya menentang keras, tapi ... sudahlah, tak perlu lagi mengingat hal itu. Sekarang yang harus di pikirkan adalah menghadapi badai yang siap menerjang. Sekarang mamanya Andra yang tahu, esok atau lusa bisa saja Marina dan keluarga besarnya yang tahu. 

Bahkan dia harus siap ditinggalkan saat suaminya lebih memilih istri pertama dan anak-anaknya. Antara dirinya dan Andra hanya menikah siri, tak ada kekuatan hukum yang bisa membelanya. Inaya menarik napas dalam-dalam. Semua itu tidak luput dari perhatian Tati yang pura-pura sibuk menyimak ponselnya. Sungguh, dia iba dengan Inaya. Sahabatnya itu berhak bahagia dengan menjadi satu-satunya ratu di hati pria yang menikahinya. Bukan menjadi perempuan simpanan begini.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Walaupun mereka saling mencintai, tapi tidak bisa menjamin kalau mereka akan kekal bersama-sama.

"Naya, ayo kita sekalian Salat Zhuhur dulu. Masih ada waktu ini," ajak Tati sambil menepuk bahu sahabatnya. Inaya mengangguk dan mereka melangkah menuju mushola.

💐💐💐

Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.

Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.

Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak. 

Sementara ini dia tidak ingin memikirkan bagaimana bisa pindah seperti permintaan keluarga istrinya. Yang terpenting adalah melaksanakan tanggung jawab besar pada perusahaan yang harus dilakukan dengan totalitas kerjanya. 

Andra sadar, dia telah melakukan kesalahan yang mungkin saja tidak akan di maafkan Marina. Namun dia juga kenal bagaimana istrinya itu, jika semua terbongkar bukan tidak mungkin kalau Marina yang menuntut Andra menceraikan Inaya.

Napas di tariknya dalam-dalam. Berat rasanya harus berpisah dengan wanita itu. Perempuan yang selalu ada saat dia mengadukan segala rasa penatnya. Sementara dengan Marina, waktu sepuluh tahun bersama juga tidak ingin berakhir sia-sia. Mereka punya anak yang tidak ingin menjadi korban broken home.

Andra mengetik sebuah pesan pada seseorang. Sahabat yang tahu banyak tentang dirinya. Laki-laki itu salah satu engineering yang jadi asistennya. Dulu mereka memang berangkat bersama-sama ke cabang perusahaan itu. Tidak lama kemudian masuklah seorang pria seumuran dengan Andra.

"Ada apa memanggilku? Pasti lagi kalut." Laki-laki bernama Tony duduk di kursi depan Andra.

"Tunda saja kepulanganmu minggu ini. Lagi banyak kerjaan yang harus kita selesaikan." Andra menunjukkan perencanaan kerja di laptopnya pada Tony. Dahi pria itu mengernyit. Jadwal mereka memang padat. Padahal sejak dulu mereka akan bergantian untuk pulang cuti.

"Hmm, okelah. Padahal anakku dah seneng banget mau diajak nyambangi neneknya."

"Bilang ke istri dan anakmu kalau di tunda. Setidaknya dua minggu lagi."

"Baiklah." Keduanya lantas membahas pekerjaan. Andra mengamati Tony yang sedang memperhatikan dokumen kontrak di laptop.

Gaji Tony tidak sebesar dirinya, tapi ke mana pun Tony pindah tugas, istrinya selalu ikut. Suami istri itu juga yang menjadi saksi pernikahannya dengan Inaya. Tony pernah memberinya saran agar Andra memaksa Marina untuk ikut, tapi kenyataannya tetap tidak mau. "Ya udah, nikah aja, Bro. Daripada kamu jajan di luar. Marina ngamuk ya hadapi saja," kata Tony yang merasa usaha Andra untuk mengajak istrinya selalu sia-sia.

"Ton, mamaku mau datang." Andra berkata setelah beberapa saat terdiam.

"Tante mau datang? Sama istrimu?"

"Tidak, Mama datang sendirian. Malah Marina minta aku pindah ke kantor pusat lagi." Andra mengulas juga tentang permintaan keluarga istrinya.

"Karirmu sendiri sudah bagus. Ngapain jadi boneka mereka. Tahu nggak adik dari istrinya Mario, cuman dijadikan alat saja kerja sama mereka. Kalau menurutku yang satu itu nggak usah kamu turuti. Pak Yusa aja nggak pernah manfaatin kamu, walaupun beliau banyak berjasa pada keluarga kamu." Tony berapi-api memberi saran pada sahabatnya. Sebab dia tahu bagaimana keluarga Marina.

"Mama marah banget, Ton, dengan pernikahan diam-diamku. Kelak Marina pun pasti akan tahu hal ini. Aku kepikiran sama mereka, Marina dan anak-anak. Sudah sepuluh tahun aku nikah, tak mungkin akan kubiarkan hancur begitu saja. Tapi memang Marina harus tahu juga mengenai Inaya."

"Kamu siap?"

"Harus siap?"

💐💐💐

Sepulang kerja Inaya langsung beres-beres rumah. Hari ini dia minta pulang lebih awal. Dia mengganti seprai yang ada di kamar depan. Kamar yang akan di tempati mamanya Andra. Seluruh ruangan di sapu dan di pel. Taplak meja dan sarung bantal sofa di ganti juga. Barang-barang yang tidak perlu, seperti koran dan majalah di taruh di gudang belakang. 

Besok mamanya Andra akan sampai sekitar jam sepuluh pagi. Dia dan suaminya sudah sepakat untuk mengambil cuti kerja. 

Andra mencium aroma pewangi ruangan dan obat pel harum lavender memenuhi penciumannya saat turun dari mobil dan hendak masuk rumah. "Mas sudah boleh, masuk?" tanya Andra pada Inara yang sedang menyusun bunga di vas.

"Iya Mas, masuk saja. Sudah kering kok lantainya."

Andra duduk di sebelah istrinya. Bibirnya mencium tangan suaminya dengan cara menundukkan badan. "Maaf, tanganku kotor." Inaya menunjukkan kedua tangannya yang kotor karena habis memotong bunga mawar dan lili di depan untuk di taruh di jambangan.

"Kamu pulang jam berapa, jam segini sudah rapi semua?" tanya Andra sambil memperhatikan sekeliling ruangan.

"Aku minta pulang lebih awal agar bisa beres-beres dan nyuci."

Pria itu mengecup kening istrinya. "Terima kasih."

Inaya hanya tersenyum kemudian kembali fokus memasukkan tiga tangkai mawar putih. Lantas meletakkan jambangan bunga di meja bulat pojok ruang tamu. "Aku buatkan minum dulu, Mas."

"Tidak usah. Mas minum air putih saja nanti." Andra menarik tangan Inaya agar mau kembali duduk. Dari sorot mata keduanya, mereka tampak gelisah. Pria itu melihat resah yang tersembunyi di balik senyum istrinya. "Setelah ini, semua tak akan lagi mudah, Naya."

"Ya, aku tahu, Mas," jawab pelan Inaya. Andra merangkul pundak istrinya. Membiarkan wanita itu rebah di dada kirinya. Mereka memandang lurus ke luar. Menatap rintik hujan yang kembali turun sore itu.

💐💐💐

Bau aroma masakan tercium dan membangunkan Andra. Suara spatula yang beradu dengan penggorengan terdengar hingga ke kamar. Pria itu segera duduk, sinar matahari sudah menyorot masuk melalui celah jendela. Dia ketiduran setelah salat subuh tadi. Segera di matikannya pendingin ruangan dan membuka jendela kamar.

Semalaman dia tidak cukup tidur karena Inaya tidak bisa tidur. Ada ucapan Inaya yang amat mengguris hati Andra. "Jika kita memang harus berpisah, aku nggak apa-apa, Mas. Mas juga harus ikhlas ngelepasin aku. Setahun ini kita membuat kesalahan dengan menikah diam-diam. Setahun ini adalah kenangan yang nggak mungkin bisa aku lupakan begitu saja. Tapi aku nggak apa-apa jika harus pergi."

Andra menunduk dalam-dalam. Ada luka yang mengangga meski belum ada yang menggoresnya. Pria itu merasakan dadanya yang kian sesak. Inaya sangat cemas, padahal menurut Andra, Mamanya adalah wanita yang sangat bijaksana. Tentu tidak akan menyerang Inaya begitu saja.

"Mas," panggil Inaya yang mengintip dari balik pintu kamar dan membuat Andra terkejut dan menoleh.

"Ayo, sarapan dulu!" Inaya berkata lagi sambil tersenyum. Andra berdiri dan menyusul istrinya ke belakang. Di meja makan sudah ada beberapa menu masakan yang dibuat istrinya. Dengan cekatan wanita itu menyiapkan piring dan meladeni suaminya. Tatapan Andra tidak lepas dari wajah yang matanya menghindari berpandangan dengannya.

"Jam delapan Mas harus berangkat ke bandara daripada nanti mamanya Mas yang nunggu di sana." Inaya menuang air putih di gelas suaminya.

Sampai sarapan selesai, Inaya lebih banyak menunduk. Berusaha menikmati makanannya, walaupun terlihat sekali kalau dia susah menelan. Andra memperhatikan itu. 

Next ....

Note : 2.313

Intermezo : Ketika saya menulis kisah ini, saya sudah menyadari kalau akan terjadi polemik. Ini genre yang sangat sensitif bagi kaum wanita, karena memang belum pernah saya menulis wanita kedua ini baik. Sebagai perempuan, saya juga tidak ingin di duakan ✌️ 

Saya bukan mengada-ada dengan menulis wanita pertama itu jahat. Bahkan kalau ikutkan kisah aslinya, istri pertama ini lebih dari yang saya gambarkan di sini. Jadi cerbung ini terinspirasi dari kisah seseorang. Meskipun profesinya saya ganti.

Salam damai manteman, cerbung ini part-nya tidak akan panjang. Sebab saya sendiri tidak mau berlama-lama di zona rawan ini 🤭

Selamat membaca 😍


Komentar

Login untuk melihat komentar!