Ketika Hati Lelaki Mendua
Part 4 Rindu yang Terbayar
Setelah dua jam perjalanan naik pesawat, Andra sampai di bandara dan langsung menuju tempat parkir mobil. Jarum jam menunjukkan pukul dua sore. Inaya pasti sudah sampai di rumah satu jam lagi. Bisa jadi mereka akan tiba bersamaan.
Andra langsung masuk pintu tol agar mempercepat perjalanannya. Mobilnya melaju dengan kecepatan 100km/jam. Tepat satu jam kemudian, dirinya sudah turun dari gerbang tol terakhir. Jarak dari sana ke rumah hanya butuh waktu sepuluh menit. Biasanya dia akan membawakan oleh-oleh untuk Inaya, tapi kali ini dia tidak sempat membelikan apa-apa karena pikirannya sedang kalut.
Sampai rumah di kawasan sebuah perumahan yang lumayan elit di kota itu, Andra sudah melihat motor Inaya terparkir di depan garasi. Dia segera turun untuk membuka pintu pagar. Tepat saat mobilnya masuk garasi, Inaya muncul dari pintu masih memakai mukena. Wajah wanita itu berbinar senang melihat kedatangan suaminya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Dia di sambut dengan pelukan hangat setelah lebih dulu Inaya mencium tangannya. Andra datang hanya membawa ransel yang berisi jaket.
"Mas tak sempat bawain oleh-oleh. Nanti saja kita makan malam di luar," kata Andra merangkul istrinya masuk ke dalam.
Inaya mengangguk sambil tersenyum. Mereka masuk ke kamar. Andra merebahkan diri di ranjang, sedangkan Inaya melepas dan melipat mukena. "Aku buatin minum ya, Mas. Teh apa kopi?"
"Teh, Sayang."
Wanita itu bergegas ke dapur. Merebus air di teko dan menyiapkan cangkir yang biasa dipakai untuk membuatkan teh suaminya. Inaya juga menyiapkan brownis di piring. Tadi sepulang kerja, dia mampir ke toko kue.
Andra mengetik pesan untuk Marina dan mengabarkan kalau dirinya sudah sampai di tempat. Hingga beberapa menit saat Inaya kembali masuk kamar, pesannya belum di balas.
Satu gelas teh hangat dan sepiring brownis di bawa masuk ke kamar. Andra buru-buru duduk. Inaya mengangsurkan teh padanya. "Makasih, ya."
"Iya. Brownisnya ini enak lho Mas. Rasa matcha. Aku beli di tempat biasanya itu," kata Inaya sambil duduk di samping suaminya.
Andra mengambil sepotong brownis menggigitnya separuh dan sisanya disuapkan pada istrinya. Keduanya tersenyum. Dari mata bening itu Andra merasakan rindu yang dalam, mata yang memandangnya penuh cinta. "Kenapa tidak mau menjawab waktu Mas telepon?"
"Mas, kan sudah pernah bilang, aku nggak boleh menelepon kalau Mas pulang ke Mbak Marina. Dan yang kemarin itu, aku takut jika bukan Mas yang menelepon."
"Bahkan Mas juga nelepon kamu memakai nomer yang berbeda."
"Maaf, aku nggak tahu."
"Tidak apa-apa, Mas nelepon mau nanya keadaan kamu."
"Aku nginap di rumah Ibuk semalam saja."
Andra meraih bahu istrinya, kemudian merangkulnya erat. Aroma wangi tercium dari rambut istrinya yang terurai hampir sebatas pinggang. Mereka menikmati kebersamaan dalam hening untuk beberapa saat. Di luar rintik hujan mulai turun. Menguarkan aroma khas tanah basah. Musim penghujan di mulai. Inaya menarik diri dari rangkulan suaminya. "Mas, mandi dulu terus Salat Asar. Kusiapkan baju gantinya. Nanti aku pijitin, Mas pasti capek."
Pria itu tersenyum, setelah mengecup puncak kepala istrinya, Andra segera berdiri.******kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Inaya memberikan handuk bersih dari lemari.
Guyuran air shower sedikit menenangkan pikirannya yang bercelaru. Bayangan anak-anak memenuhi pikiran, juga sosok Inaya yang menjelma menjadi dewi ditengah kegersangan hatinya. Belum lagi ingat saat sang mama menasehatinya panjang lebar. Nasehat di antara rasa kecewanya yang dalam. Dalam beberapa hari ke depan, mama dan Inaya pasti bertemu. Dia harus memberitahu Inaya soal ini.
"Mas, Mas nggak apa-apa, 'kan? Lama banget mandinya." Teriak Inaya diliputi rasa khawatir.
"Tidak apa-apa, ini sudah selesai." Andra mematikan kran shower. Lantas membelitkan handuk ke pinggangnya. Di luar pintu kamar mandi, Inaya berdiri mematung penuh rasa khawatir. Andra tersenyum, Inaya lega. Segera di bentangkan sajadah dan mempersiapkan sarung untuk salat suaminya.
Inaya menunggu di tepi pembaringan hingga Andra telah selesai salat dan berdoa. Di ciumnya tangan sang suami, sambil duduk di sebelahnya. "Mas, lagi ada masalah?" tanya Inaya menyelidik.
Andra menggeleng pelan. Inaya sering bertanya duluan saat merasakan sikap suaminya yang berbeda dari biasanya. Sementara Andra sendiri belum berani memberitahu soal mamanya, nanti saja setelah hilang capeknya.
"Ayo, buruan baring biar aku pijitin!" Inaya menarik tangan suaminya. Andra menurut dan tengkurap di atas ranjang. Tangan Inaya yang mungil mulai mengurut punggung suaminya. Pria itu merasakan rileks dari tekanan yang di rasakan. Otot-otot mulai mengendur dan merasakan nyaman. Inaya membiarkan suaminya terlelap. Nanti kalau mendekati azan Maghrib baru di bangunkan.
💐💐💐
Andra menggandeng Inaya berjalan menyusuri trotoar di jalan tengah kota itu. Mereka mencari warung untuk makan malam. Di antara deretan warung, Andra mengajak istrinya untuk masuk sebuah kedai bakso yang menjadi makanan favoritnya.
"Bagaimana keadaan keluarganya, Mas? Sehat semua, 'kan?" tanya Inaya ketika mereka menunggu pesanan.
"Alhamdulillah, sehat. Amy akan segera melahirkan," jawab Andra. Inaya tahu kalau adik suaminya itu sedang menunggu kelahiran anak kedua.
Sambil makan, Andra bercerita mengenai anak-anak dan pertemuannya dengan big bos, Pak Yusa. Pria itu juga cerita mengenai famili gathering untuk para karyawan yang memiliki jabatan penting di perusahaan. Rencananya akan diadakan liburan ke Bali. Tapi masih dalam tahap pembahasan. Inaya mendengar sambil menikmati bakso yang baru saja di suguhkan oleh seorang pelayan.
Wanita itu juga paham, dia hanya menjadi pendengar untuk semua rencana acara di perusahaan tempat Andra bekerja. Sebab dia tidak mungkin akan diajak untuk menghadiri. Tetap saja istri pertama suaminya yang direncanakan pasti ikut.
Walaupun hampir semua karyawan di perusahaan cabang itu juga tahu kalau Andra dan Inaya menikah siri. Mereka juga menghormati dan menghargai Inaya sebagai istri atasannya. Entah kalau di belakangnya, bisa jadi tetap ada kasak kusuk membicarakannya. Imej sebagai wanita kedua akan selalu buruk di mata mereka. Namun ada beberapa yang paham situasi Andra, karena mereka juga tahu bagaimana sifat Marina.
Andra menanyakan kegiatan Inaya selama ditinggal. Wanita itu menceritakan aktivitas yang tidak jauh berbeda saat Andra bersamanya. "Tapi aku nggak pernah masak selama Mas nggak ada, daripada nggak kemakan."
"Pantesan kamu agak kurusan."
Inaya mengernyit. "Masa, sih? Perasaan aku malah ngemil melulu waktu Mas nggak ada," jawabnya sambil memperhatikan tubuhnya sendiri. Andra tersenyum. "Mas hanya bercanda."
Jemari lentik itu mencubit pinggang Andra. Pria itu hanya meringis sebentar ketika rasa sakit dan panas terasa di pinggangnya.
Terkadang Inaya ingin sekali mendengar aktivitas Andra selama bertemu dengan istri, anak, dan keluarganya di sana. Misalnya saat mengajak mereka pergi jalan-jalan atau sekedar makan malam bersama. Tapi Andra tidak pernah menceritakan itu. Bagi Andra sendiri, hal itu tidak perlu di ceritakan pada Inaya. Seperti Marina yang tidak tahu mengenai Inaya dan begitu juga Inaya. Tidak perlu tahu kegiatan Andra selama berkumpul dengan mereka. Sedapat mungkin pria itu menjaga perasaan dua wanitanya.
Andra hanya cerita mengenai pekerjaan dan setiap permasalahan yang menguras pikiran di perusahaan. Itu saja. Apapun permasalahan dengan orang tua Marina, Andra tidak pernah memberitahu Inaya. Juga, Inaya tidak pernah mengorek banyak hal tentang hubungan Andra dengan yang di sana, bagi wanita itu, selagi Andra tidak cerita berarti dia tidak boleh tahu.
"Habis ini antar aku ke supermarket, ya, Mas. Mau belanja sayuran. Besok Mas mau di masakin apa?"
"Hmm, apa ya?" Andra berpikir. "Tumis kangkung saja, sama goreng ikan." Dia bosan makan daging sama ayam selama seminggu kemarin.
"Oke."
Selesai makan, Andra langsung mengantar istrinya belanja. Menikmati setiap jejak langkah wanita itu saat terpesona melihat sayuran segar, seperti melihat barang mewah di butik atau toko perhiasan. Inaya memang suka sekali memasak.
"Ayo, sudah selesai apa belum?" Andra bertanya lirih. Saat Inaya masih asyik memasukkan berbagai sayuran, ikan, dan bumbu-bumbu ke dalam troli belanjaan.
"Iya, bentar lagi. Biar besok-besok aku nggak repot belanja. Tinggal masak aja. Kalau Mas capek, duduk saja di bangku sana." Inaya memandang bangku di teras supermarket. Andra menggeleng. Terus menemani hingga Inaya antri di kasir.
Hujan kembali turun saat mereka keluar dari supermarket. Padahal tadi sore sempat gerimis sebentar terus berhenti menjelang Maghrib.
"Mampir ke apotek sebentar, ya, Mas," kata Inaya setelah mobil keluar dari halaman supermarket.
"Beli apa?"
"Stok obat di kotak P3K udah habis. Pilku juga habis."
"Kamu masih mau mengonsumsi pil itu?" tanya Andra. Mereka berpandangan. Rasa ragu masih menggelayuti pikiran Inaya. Bagaimana jika kelak dirinya ditinggalkan? Bagaimana dengan anaknya? Apakah akan mengalami nasib seperti dirinya? Membesar tanpa ayah di sampingnya. Cukup sudah dia membuat kesalahan dengan masuk dalam kehidupan wanita lain.
"Mas tidak pernah melarangmu untuk hamil, Naya. Setiap perempuan mengimpikan untuk menjadi seorang ibu. Mas akan berusaha adil untuk anak kita dan anak-anak Mas sebelumnya."
Inaya diam, dia memperhatikan jalanan yang diguyur hujan. Setahun mengenal Andra dan setahun menjadi istrinya, Inaya cukup mengenal lelaki itu bagaimana. Dia pria yang berusaha selalu bertanggung jawab dengan pasangannya.
Mobil berhenti di depan sebuah apotek. Inaya berlari kecil menerobos hujan. Kebetulan apotek dalam keadaan sepi, jadi dirinya langsung bisa dilayani.
Sesampainya di rumah, Andra membantu Inaya memasukkan belanjaan ke dalam kulkas. Kemudian mereka salat Isya berjamaah. Selesai salat, Inaya ganti baju. Seperti yang selalu di minta Andra, baju seksi itu yang dipakainya. Wanita itu termangu di depan meja rias, bimbang antara mau minum pil kontrasepsi itu atau tidak. Belum sempat membuat keputusan, Andra sudah mengangkat tubuhnya ke pembaringan mereka.
Hujan menjadi saksi menyatunya dua raga yang memendam rindu dan cinta. Inaya totalitas menjalankan perannya, dia tahu bagaimana membuat pasangannya bahagia. Walaupun mungkin sudah dipuaskan dengan yang di sana. Inaya menepis pikirannya, dia hanya menjalankan tugas sebagai istri. Membayar rindu yang terpendam seminggu ini.
Ucapan terima kasih dari Andra terdengar lembut di telinga Inaya. Membuat wanita dengan tubuh yang sudah terbalut selimut itu tersenyum.
Mereka tengadah memandang langit-langit kamar. Andra mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan sang mama. Tentang kekecewaan wanita itu padanya. Kali ini Andra harus jujur, biar Inaya tidak kaget ketika nanti mamanya datang dan mengajak Inaya bicara.
Nyali wanita yang tangannya di genggam Andra mulai ciut. Mungkin selama ini dia siap di maki Marina, tapi rasanya belum siap dibenci oleh wanita yang telah melahirkan pria yang sangat dicintainya. Salah. Inaya mengaku salah.
"Kamu jangan takut. Mama adalah wanita yang sangat bijaksana." Andra mencoba menenangkan. Sebab dia tahu kalau Inaya gentar kali ini.
"Mas tidak akan membiarkan orang menyalahkan kamu saja. Karena ini juga kesalahan Mas. Mas yang mendesakmu kala itu. Mas yang akan bertanggung jawab." Andra membawa Inaya ke dalam dekapannya.
💐💐💐
Pagi yang dingin. Suara hairdryer menggema dalam kamar. Andra membantu istrinya mengeringkan rambutnya yang panjang itu. Sesekali terdengar tawa mereka. Hingga dentang jam yang menunjukkan tepat pukul lima membuat Inaya segera berdiri. "Sudah Mas. Tinggal dikit, nanti pasti kering sendiri. Aku harus masak sekarang." Tanpa menunggu jawaban suaminya, Inaya bergegas ke dapur.
Andra meraih ponsel yang baru saja bergetar. Ada pesan masuk dari Marina.
[Syukurlah kalau udah sampai, Mas. Jangan lupa nanti bicara dengan Pak Yusa. Papa juga nunggu keputusan, Mas.] Pesan kemarin baru di balas.
Ponsel kembali diletakkan di tempatnya. Harusnya kalau mau membicarakan ini, pas ketemuan kemarin di kantor pusat. Tapi Andra sendiri yakin, jika big bos tidak akan memberikan izin pindah.
Andra mengambil laptop yang ada di bufet ruang tengah. Sambil menikmati sedapnya aroma masakan Inaya, di bukanya laptop dan memeriksa beberapa laporan yang dikirimkan oleh asistennya lewat email.
Jam enam lebih lima belas menit, Andra mengambil ponsel dan menelepon Marina.
"Halo, Mas."
"Anak-anak sudah bangun?"
"Sudah, lagi dipakein seragam sama Bibik. Pagi ini aku mau keluar sama Mama."
"Ke mana?"
"Ada deh." Jawaban penuh tanda tanya. Jika di desak pun, Marina kadang tidak memberitahu. Terkadang hanya bilang nemani mama shoping.
"Biar Mas bicara sama anak-anak sebentar."
Terdengar Marina berteriak-teriak memanggil dua anaknya. Tak lama kemudian Andra mendengar suara Amel dan Kiki di seberang.
Inaya yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan hanya menatap sekilas pada suami yang sedang menelepon di ruang tengah. Wanita itu duduk dan sabar menunggu seperti biasanya, hingga Andra selesai bicara pada mereka.
"Maaf, nunggu lama, ya?" ucap Andra sambil duduk berhadapan dengan istrinya.
"Nggak apa-apa." Inaya menyendokkan nasi ke piring suaminya. Mengambilkan ikan gabus goreng dan tumis kangkung.
"Nanti berangkat kerja bareng Mas saja."
"Nggak usah, Mas. Aku naik motor saja. Aku kan bisa langsung pulang nggak usah nunggu. Kadang Mas telat keluar dari kantor."
Bersamaan Inara selesai bicara, ponsel Andra kembali berdering. Pria itu melangkah ke ruang tengah. Kali ini Mamanya yang menghubungi. Inaya tidak menunggu suaminya lagi, dia segera menyelesaikan sarapannya. Kemudian menyiapkan bekal untuk makan siangnya nanti. Kalau Andra biasanya akan makan di luar. Sesekali saja minta dibawakan bekal juga. Sebab Andra sering lunch dengan beberapa relasi.
"Dihabisin dulu sarapannya, Mas," kata Inaya saat Andra kembali ke meja makan.
Pria itu duduk dan mengabiskan sarapannya. "Mama yang barusan nelepon. Ngasih kabar kalau Amy udah melahirkan jam satu malam tadi."
"Oh ya, Alhamdulillah. Berarti maju dari perkiraan dokter, ya?"
"Iya."
"Anaknya cewek apa cowok?"
"Cewek."
"Alhamdulillah, habis cowok terus cewek."
Andra mengangguk. Nasi di piring tandas dengan cepat, karena dia harus bersiap ke kantor juga. Setelah selesai mencuci piring, Inaya menyusul suaminya ke kamar. Dengan cekatan Inaya berganti seragam kerja. Kemudian masih sempat membantu suaminya mengancingkan kemeja dan memakaikan jam tangan.
"Mama bilang dua atau tiga hari lagi akan berangkat ke sini." Perkataan Andra membuat Inaya mendongak. Menatap wajah berahang kokoh itu.
Andra membingkai wajah istrinya. "Mas bersama kamu. Apapun yang terjadi, mari kita hadapi dan selesaikan."
Inaya mengangguk. Kemudian melepaskan tangan suaminya dan bergegas mengambil tas. Memasukkan ponsel ke dalamnya. Seperti biasa, Andra akan mengawal istrinya yang naik motor hingga wanita itu berbelok ke tempat kerjanya. Cepat atau lambat, semua memang harus di hadapi.
Next ....
Note : 2.209 kata
Selamat membaca 😍😘