AULA?
Aku terpekik kaget saat kudapati diriku di dalam aula. Tidak salah, ini aula. Bisa kulihat gamelan di hadapanku, senjata-senjata berkarat yang menumpuk, peralatan olahraga dan bangku-bangku yang menelungkup. Aku masih bingung kenapa aku berada di ruangan ini. Aku menelan ludah tatkala kudengar suara rintihan seseorang, suara yang lama kelamaan terdengar semakin keras seolah-olah sangat dekat dengan gendang telingaku.
Napasku mulai memburu, aku berjalan mundur sampai ke pintu. Suara rintihan itu semakin mendengung di telingaku, semakin membuatku gemetar. Dengan terus berjalan mundur, akhirnya aku berhasil menyentuh gagang pintu. Kudorong sekuat tenaga, pintu berhasil membuka. Namun, kali ini yang terdengar adalah suara gamelan ....
Langsung saja kututup dengan membanting pintu sangat keras. Dengan napas memburu, aku terus berlari.
Di tengah kuberlari, kurasakan kakiku terkantuk sesuatu, agak keras hingga hampir saja membuatku terhemas. Dengan terhuyung, aku mencoba berdiri sempurna. Kulihat dengan was-was benda apa yang membuatku terjatuh. Ternyata itu bukan sebuah benda, tetapi menyerupai gumpalan yang berdenyut. Aku melangkah mundur, kerongkonganku terasa kering karena rasa takut hingga aku meneguk ludahku sendiri. Pori-pori di sekujur tubuhku mengeluarkan keringat dingin, kurasa sesuatu membelai pundakku. Aku tahu itu adalah perasaan ketakutan.
Kulirik lagi gumpalan berlendir dan berdenyut itu, lama kelamaan muncul tangan dan kaki hingga menyerupai makhluk mini. Aku semakin mundur, mundur, mundur, dan mundur.
Gumpalan itu kini membentuk tubuh manusia, terasa aneh, kaki dan tangannya terasa memanjang dan sangat panjang.
Aku bersiap untuk lari meski kaki ini terasa berat, makhluk itu kini setinggi pohon, aku sempat frustasi, tapi aku masih berusaha berlari.
Aku hafal betul jalan dan seluk beluk di asrama, tetapi anehnya seakan-akan aku tersesat. Kali ini aku betul-betul frustasi. Kupilih bersembunyi sejenak di semak-semak berharap makhluk panjang itu tak menemukanku.
Tanganku membungkam mulutku sendiri agar napasku yang terengah-engah tak terdengar. Aku masih berjongkok di balik semak-semak lalu sesuatu menyentuh punggung belakangku.
Oh, Tuhan, apa ini? Aku menelan ludah kembali, rasanya tak berani menoleh, tapi sangat penasaran. Mataku melotot dengan apa yang kulihat ... bocah kecil jongkok di belakangku dengan bola mata mengeluarkan darah!
Aku gemetar hingga tak sanggup bergeser selangkah pun.
"Bulek, jangan takut, pergi secepatnya dari sini, dari asrama ini." Suara bocah kecil itu menggema seperti gemuruh.
"Ka-ka-kamu siapa?" tanyaku gugup.
Bocah itu menyeringai dan ....
**
Aku membuka mata, sayangnya tak ada sinar yang berpendar d iruangan.
"Oh, Tuhan, ternyata aku hanya mimpi!"
Kuraba ranjang di sebelahku, lega, ternyata Rama masih di sebelahku.
"Jam berapa ini? Kenapa lampu masih belum menyala."
Kuingat-ingat bocah di mimpiku tadi, kenapa ia memperingatkanku agar pergi dari asrama ini?
"Sepertinya wajah bocah itu nggak asing, tapi di mana, ya?"
Angin semilir masuk melalui fentilasi rumah, kakiku sedikit menggigil, kutarik selimut lebih ke atas, tetapi selimut itu semakin merosost seperti ada yang menariknya. Tengkuk dan bagian belakang leherku terasa meremang, bulu kudukku berdiri. Sepasang tangan mencengkram kakiku!
TAP!
Aku sontak kaget saat lampu tiba-tiba menyala, kulihat jelas siapa yang menarik selimutku.
"Bisma?"
Bisma diam saja, wajahnya pucat.
"Ada apa, Nak?"
Bisma menengadah. "Aku mau buang air besar, Bu."
Sebenarnya hal yang biasa, tetapi bagiku tidak. WC umum berada di luar rumah, dekat dengan aula.
Aduh bagaimana ini! Harus berjalan ke luar rumah dan ini sudah amat larut bahkan hampir sepertiga malam.
"Perut Bisma sakit, Bu," sambungnya lagi. Sebagai seorang ibu, aku tak tega.
"Ya sudah. Ibu bangunkan dulu Aris untuk menjaga Rama di rumah."
**
Aku berjalan sembari membawa ember dan senter. Bisma berjalan seirama di sampingku. memberanikan diri berjalan di tengah heningnya malam. Angin malam berembus menerpa rambutku yang sengaja kugulung. Kulirik Bisma, ia diam saja. Aku jadi ingat mimpiku tadi, sungguh mimpi yang sangat mencekam sepanjang hidupku.
Akhirnya aku sampai di depan bangunan berderet yaitu kamar mandi dan WC umum. tak berani aku menoleh ke arah aula meski jaraknya tidak terbilang dekat, tapi tak bisa dikatakan jauh pula. Kuantar Bisma ke dalam, aku menungguinya di dalam saja, karena aku khawatir Bisma takut sendiri. WC umum dimalam hari snagat sepi, seperti ruangan kosong yang besar. bayangan-bayangan pohon yang bergoyang masih bisa kulirik dari celah-celah jendela. hanya bayangan namun aku merasa seperti lambaian-lambaian halus. aku setengah bergidik.
Setelah Bisma selesai, aku mengiringnya ke wastafel untuk mencuci kaki, tetapi masih dalam lingkup kamar mandi umum.
Bisma memandangi hal yang terus menerus ia pandangi.
"Bu, ada orang gundul di pojokan," ucap Bisma dan seketika aku meremang, gemetar, tak berani melirik ke arah tunjukkan Bisma.
Tangan Bisma kugenggam dan dengan cepat kuajaknya pergi. Setengah berlari. Sekelilingku masih gelap gulita, pohon-pohon tampak membisu, tetapi dahannya bergerak seperti lambaian. Kedua kakiku terus berlari dengan menggenggam Bisma.
Akhirnya aku tiba di rumah. Segera ku gedor pintu. Aris dengan panik membuka pintu, serta merta aku dan Bisma masuk ke dalam rumah.
Bersambung