DIAJAK BERMAIN
Aku menatap atas gerobak sayur. "Pak, sayurnya kok nggak lengkap?"

"Iya, ni, Bu. Beberapa hari ini hujan terus. Kualitas sayur menurun, jadinya hanya ini." Tukang Sayur mengambil ikan di ember lalu membersihkannya.

"Bu Mukti, mau masak apa hari ini?" tanya Bu Tomo, tetanggaku yang juga sedang belanja sayur, matanya sibuk berkeliling mencari bahan masakan yang sesuai kantongnya.

"Pengennya sih masak bayam, Bu. Bisma seneng sayur bayam."

"Oh," jawab singkat Bu Tomo. Wanita berambut pendek ikal itu lalu menatapku lurus. "Bu Mukti kalau malam bisa tidur nyenyak?"

Aku sedikit bingung mengenai arah pembicaraannya.

"Bu Mukti nggak pernah dengar suara-suara dari aula belakang?" tanya Bu Unggul juga.

"Kenapa memangnya, Bu?" tanyaku.

"Ah, tidak apa-apa, Bu. Hanya saja rumah Bu Mukti kan lebih dekat dengan aula ketimbang rumah kita."

"Iya, Bu. Masa Ibu nggak pernah dengar suara gamelan Jawa dari dalam aula itu? Saya saja kadang dengar, tapi saya nggak berani bangun dan langsung tidur lagi."

Aku mendengus sedikit.

***

Satu bulan berlalu ....

"Bu, saya mau nyuci baju dulu," pamit Mbok Dar, pengurus rumah. 

Asrama di batalyon ini sungguh unik, antara rumah dan kamar mandi serta tempat mencuci terpisah bangunannya. Bangunan rumah berderet atau biasa disebut barak yang saling berhadapan, sedangkan bangunan kamar mandi dan dapur umum berada di belakang barak berdekatan dengan aula asrama. Tempat mencuci juga memiliki tempat yang berbeda yaitu di sebelah kiri kamar mandi umum. Karena jarak dapur umum agak jauh, aku memilih membuat dapur sederhana di belakang rumah. Namun, kegiatan mencuci baju, mandi, dan buang air, mau tidak mau penghuni asrama harus rela berjalan sedikit untuk menempuhnya.

Siang itu aku berkutat dengan pena dan buku agendaku, kucatat pengeluaran rutin bulanan untuk evaluasi tiap bulannya. Bisma bermain di ruang tamu, aku dan Rama di kamar.

Sekitar enam menit aku menganalisis pengeluaranku, Bisma masuk ke kamar lalu duduk di sebelah bayiku, Rama, yang kubaringkan di ranjang. Bisma mengulurkan jarinya agar digenggam oleh adiknya.

"Bu, Adik kalo malam kok sering nangis?"

Aku tersenyum lalu berbalik pada Bisma. "Iya, Adik kan masih kecil, Nak."

Aku kembali pada posisiku, pena yang masih berada di genggamanku kembali ingin kutorehkan di lembar buku agendaku. Mataku membelalak menatap meja yang kosong.
 
Tatapanku berkeliling menjelajah permukaan meja. Mana buku agendaku? tanyaku dalam hati. 

Aku merunduk ke kolong meja, berputar menjelajah mencari buku itu dengan mengandalkan penglihatanku. Nihil. Aku kembali bangkit dan duduk di kursiku, lalu menoleh pada Bisma. "Nak, kamu lihat buku Ibu?"

Bisma memandangku heran, tangannya menelunjuk pada meja. "Buku Ibu kan di atas meja itu."

Aku segera berbalik, menatap atas meja.

Tidak! Tidak mungkin! Buku ini sungguh tak ada tadi, gumamku dalam hati.

"Bu, Adik kok tertawa-tawa sendiri? Sepertinya diajak main oleh seseorang."

Kata-kata Bisma membuatku menelan ludah. Aku menolak pikiran ketakutan yang memang menurutku tidak realistis.

"Tidak, Nak. Anak bayi memang suka tertawa."

Bisma memandangiku. "Tapi Mbok Dar bilang kalo Adik tertawa sendiri berarti Adik sedang diajak main sama makhluk halus."

Aku mendengus kesal dengan perkataan Mbok Dar pada Bisma.

"Ah, Mbok Dar itu berasal dari desa, Nak. Mbok Dar hanya menceritakan dongeng. Bisma jangan dengerin hal-hal seperti itu, ya, Nak!"

Bisma mengangguk, ia kembali bermain dengan Rama. Aku kembali menatap atas meja. Menatap buku agendaku. Rasanya tidak mungkin, apakah aku terlalu capek hingga berhalusinasi seperti ini.

Siang berganti sore, kegiatan ibu-ibu asrama pada umumnya di sore hari yaitu bermain voli. Aku sebenarnya suka voli, tetapi kali ini hanya sebagai penonton saja. Rama aku gedong dengan kain jarik sambil serius menatap bola yang berpindah-pindah melewati garis net. Tepukan di pundak membuyarkan konsentrasiku.

"Bu Mukti."

Aku menoleh. "Eh, Bu Urip, lama nggak kelihatan ya. Habis pulang kampung ya, Bu?"

Wanita berusia empat tahun di atasku itu tersenyum lalu meredup. "Iya, Bu. Saya habis pulang ke Wonosobo. Nggak betah tinggal di sini."

"Lho, Ibu ada masalah sama penghuni asrama ini?"

"Bukan itu. Ya, mungkin bisa dibilang saya orang penakut, Bu. Sejak kejadian Bu Marsono lihat perempuan duduk tanpa kepala di kamar mandi umum, saya jadi takut, Bu. Mana kalau malam saya sering mules mau ke belakang lagi! Kalau suami lagi tugas lama, mending saya pulang, Bu."

Mendengar cerita Bu Urip sejujurnya aku agak merinding, kembali mengingat kejadian dua minggu yang lalu saat Bu Marsono yang keluar dari kamar mandi umum dengan keadaan (maaf)******saking ketakutannya melihat perempuan tanpa kepala yang duduk di kamar mandi umum. Seasrama ramai membicarakan itu.

"Bu Mukti!"

"Bu Mukti!" panggil Bu Urip.

"Eh, iya." Aku mendongakkan wajah.

"Saya salut dengan Ibu."

"Eh, kenapa?"

"Ibu termasuk berani lho, apalagi rumah Ibu dekat aula."

"Lho, ada apa dengan aula itu, Bu?"

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!