DITINGGAL TUGAS
Batalyon Magelang 1978

Baru tiga bulan anak keduaku lahir, tetapi suamiku kembali ditugaskan ke daerah konflik, itu berarti aku harus hidup mandiri.

Sebenarnya itu bukan masalah karena sejak sebelum menikah, aku memang tipe wanita yang mandiri. Namun, entah mengapa di rumah yang kudiami sekarang ini, di sebuah batayon prajurit baret hitam, aku merasakan sesuatu yang lain.

Aku baru menempati rumah ini lima bulan, tetapi karena rumah orang tuaku tak jauh dari asrama, tak ayal membuatku tak sering berada di sini. Hanya saja kali ini berbeda karena suatu hal aku harus terbiasa untuk tinggal di asrama.

Dua hari lalu suamiku berangkat tugas, aku tinggal di rumah dengan kedua anakku yang berusia 3 tahun dan 3 bulan. Kulihat putra pertamaku sudah tertidur pulas dengan guling kesayangannya, ya, penggantiku, sementara aku masih harus berusaha meninabobokkan anak keduaku yang memang cenderung cengeng.

Berjam-jam aku menggendong putra keduaku ini yang tak berhenti menangis. Kadang kala aku merasa frustasi, tetapi aku tak bisa menyerah begitu saja sebagai seorang ibu.

Hampir pukul satu dini hari, akhirnya putra keduaku bernama Rama, tertidur. Pelupuk mataku pun sudah amat berat. Kuletakkan Rama bersebelahan dengan Bisma, kakaknya.

Kuembuskan napas, berpikir ada baiknya jika kuisi perutku dulu sebelum tidur, maklum saja aku selalu merasa lapar karena masih menyusui.
Aku berbalik dan merasa heran, aku menggeleng pelan. 

"Tidak mungkin, tadi pintu kamar ini belum aku tutup."

Aku berpikir keras dengan penglihatanku, aku ingat jelas pintu kamar belum aku tutup, tapi mataku tak bisa berbohong, pintu kamarku tertutup rapat. Aku kembali menggeleng. Ah, pasti ada yang keliru dengan ingatanku.

***

Matahari pagi menyembul di ufuk timur, aku terbangun. Pendar sinar mentari seolah-olah mengusap mataku dengan sinarnya. Kubuka kelopak mataku lalu bangkit untuk duduk, aku melihat Rama, anakku pun telah bangun, tapi dia hanya diam, matanya berkeliling di langit-langit kamar. Ya, begitulah anak bayi. Namun, aku sedikit terkejut Bisma tak ada di ranjang. Aku segera bangkit dari ranjang lalu keluar kamar meninggalkan bayiku sesaat untuk mencari BIsma.
"Bisma!" teriakku.

Tak ada jawaban.

Aku kembali berteriak, "Bisma!"

BRUUGG!

Mataku terbelalak, aku mendengar sesuatu terjatuh dari dalam kamar. Seketika terlintas bayiku yang kutinggalkan sendiri di kamar. Tengkukku panas, firasat buruk jika bayiku terjatuh dari ranjang menyelimuti pikiranku. Aku segera berlari masuk ke dalam kamar.

"Bisma?" Aku mendelik melihat isi kamar, Bisma, anakku duduk di sisi ranjang di sebelah Rama.

"Bisma. Suara apa itu? Ibu mendengar ada benda jatuh?"

Bisma menggeleng. "Nggak ada suara apa-apa, Bu."

Dahiku mengereyit, kupandangi suasana kamar yang memang baik-baik saja.

"Bisma, kamu dari mana saja? Tadi Ibu mencarimu."

Bisma balas menatapku. "Bisma nggak ke mana-mana, Bu. Sedari tadi Bisma di kamar."

Aku semakin bingung, tak mungkin, dari sorot mata putraku itu aku yakin dia berkata jujur.

"Bisma, tadi ibu lihat kamu nggak ada di kamar ini." Nadaku sedikit pelan agar putraku itu merasa nyaman.

"Bisma sembunyi di kolong ranjang, Bu."

Aku mengembuskan napas setengah lega.

"Kenapa kamu sembunyi di kolong ranjang? sejak kapan?"

Bisma menggeleng, aku jadi merasa bodoh menanyakan hal itu, terang saja, Bisma masih 3 tahun, ia tak tahu mengenai putaran jam.

"Bisma sembunyi di kolong karena ...."

Ucapan Bisma terpotong saat terdengar pintu rumah kami diketuk cukup keras.

Aku menoleh ke arah luar jendela, lalu kembali memandang Bisma. "Kamu tunggu disini dulu ya, Nak."

Aku berjalan meninggalkan kamar menuju ruang depan. Bersiap membuka gagang pintu kayu.

"Assalamu alaikum." Suara di balik pintu.

Kubuka pintu. "Waalaikum salam."

Senyum mengembang di wajah tua wanita yang berdiri tepat di hadapanku.

"Rumahnya Bu Mukti?"

Aku membalas senyuman. "Mbok Dar, ya?"

Wanita setengah tua itu mengangguk. Aku bisa tersenyum lega, akhirnya pembantu yang dikirim orang tuaku ke rumah sudah datang.
"Bu, saya hanya bekerja dari pagi sampai siang." Mbok Dar menegaskan padaku.

"Iya, Mbok. Saya sudah dikasih tahu sama Ibu."

Sebenarnya dengan gaji tentara di zaman ini sungguh mustahil aku mempunyai tanggungan pembantu, tetapi orang tuaku khawatir karena aku sedang ditinggal tugas suami serta memiliki dua anak kecil. Oleh karenanya, orang tuaku bersedia mengupahi pembantu buatku.

Pagi itu Mbok Dar langsung bergiat di dapur, menyetrika, menyuci dan membersihkan rumah.

"Mbok, saya ke tukang sayur dulu, ya. Titip Rama, dia sedang tidur di kamar."

Mbok Dar menggangguk. "Baik Bu."

Beberapa saat sebelum aku melangkah, Mbok Dar menghentikanku.

"Bu ...."

"Iya?"

"Bangunan yang di belakang rumah, itu bangunan apa ya?"

"Itu aula, Mbok."

"Masih dipakai, Bu?"

"Hmm, kalau ada kegiatan ibu-ibu, hanya memakai ruangan di sampingnya, sedang aula itu hanya untuk tempat penyimpanan alat-alat seni, senjata-senjata yang sudah usang dan peralatan olah raga batalyon."

"Oh."

"Kenapa, Mbok?"

"Nggak apa-apa, Bu. Hmm, Adek kalau ditinggal keluar rumah sebaiknya disematkan bengle di bajunya, Bu. Sisir, cermin, dan gunting letakkan di dekatnya."

Aku tersenyum, aku tahu Mbok Dar wanita yang berasal dari pedasaan, olehnya hal-hal berbau kejawen mungkin masih kental.

Aku menunduk karena terasa ada menarik ujung bajuku. "Bisma?"

"Bu, Bisma mau ikut."

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!