PANIK
"Bisma ...?" Kembali kupanggil anakku.

BRAKK!

Aku terperanjat, sungguh kaget, pintu aula tertutup dengan sendiri. Aku segera berlari, berusaha membuka pintu. Panik, aku sungguh panik.

Ku gedor pintu beberapa kali dan berteriak dari dalam.

BRUGG!!

Sesuatu benda terjatuh di belakangku, aku semakin panik, gugup, tak berani menengok benda apa itu.

"Tolooong! Siapa saja, tolong saya!!" Aku berteriak dengan panik.

BRUGGG!

Sebuah benda kembali terjatuh di belakangku, kali ini suaranya lebih keras. Lututku serasa lemas, pundakku terasa berdesir, aku tak berani, sungguh tak berani menoleh. Segala hal buruk membebani pikiranku. Apakah cerita yang selama ini beredar tentang aula angker ini adalah benar? Jika saja semua ini benar, bagaimana nasibku. Aku sungguh frustasi, tetapi jika begini terus, habislah aku di ruang aula ini.
Berteriak jalan satu-satunya yang terpikir.

Aku terus berteriak dengan panik sembari menggedor-gedor pintu, rasa perih di telapak tanganku sudah tak mampu kurasakan karena dijajah oleh rasa ketakutanku.

KREEKK

Seseorang membuka pintu dari luar. Aku tak pikir panjang dan langsung berlari keluar. Kulihat Bu Komandan berdiri di depanku, beliau ternyata yang membukakan pintu.

Bu Komandan masih mematung, tatapan matanya menusuk sanubari, beliau lantas menutup pintu aula.

"Apa yang Bu Mukti lakukan di dalam?" tanyanya.

Aku masih diliputi rasa ketakutan, sekujur tubuhku basah oleh keringat dingin.

"Me-me-mencari anak kami, Bu," jawabku terbata-bata.

"Ibu!" Suara Bisma memanggilku, aku melihat putra pertamaku itu berlari lalu mendatangiku.

"Bisma?"

"Ibu."

"Ibu mencarimu, kamu ada di mana?"

"Bisma main di pos penjagaan sama Ilham, Bu."

Kulihat Ilham ikut menyusul di belakang Bisma.

"Lho, Ilham, bukannya kamu tadi bilang Bisma masuk ke aula?" tanyaku masih dirundung kepanikan.

Kulihat wajah polos Ilham kebingungan. "Tidak, Ilham nggak pernah bilang apa-apa sama Bulek Mukti. Ilham kan tadi main di pos sama Bisma, Bulek."

Aku semakin gugup, terperanjat, kebingungan menjadi satu. Lalu siapa tadi yang berkata padaku bahwa Bisma masuk ke dalam aula?

Kening Bu Komandan berkerut. "Bu Mukti, sebaiknya Ibu kembali saja ke rumah."

Aku masih merasa keheranan, tak berani menatap pintu aula yang kedua kali.
Tangan Bu Komandan lantas menggelayut di pundakku.

"Bu Mukti, putraku, Rio, tiga hari sebelum meninggal, almarhum sempat masuk ke dalam aula, setelah itu dia panas tinggi dan akhirnya mengembuskan napas terakhir," lirihnya dengan nada yang terasa begitu sedih dan terasa ada penyesalan dalam irama suaranya.

***

Aku jadi terbayang-bayang dengan ucapan Bu Komandan beberapa hari lalu, membuatku semakin tak tenang.

Terdengar pintu diketuk.
Kubuka pintu dengan segera, kutahu siapa tamu itu.

"Assalamualaikum, Mbak Laras."

"Masuk Aris."

Aris, adikku masuk dan sungkem padaku. Karena peristiwa di aula itu, aku jadi takut di rumah hanya bertiga, meski di siang hari Mbok Dar menemani. Oleh karena itu, aku meminta Ibu mendatangkan adikku untuk menemani sementara waktu. Jika masuk waktu malam, kejadian waktu itu selalu terngiang-ngiang. Aku yang biasanya berani, kini sedikit menciut nyaliku. Entah, mungkin karena tak ada suami di sisiku atau karena aku baru beberapa bulan lalu melahirkan dan psikologisku masih labil.

"Bisma mana, mbak?" 

"Ada di kamar sama Rama."

"Mbak Laras, ini dari Ibu buat Bisma sama Rama." Aris menyerahkan bungkusan yang di bawanya. 

Aku dan Aris lantas duduk di ruang tamu. 

"Maaf ya, Ris. Mbak minta Ibu agar kamu menginap di sini sementara waktu." 

Aris tersenyum. "Nggak apa-apa, Mbak, kebetulan Aris lagi liburan sekolah kok."

Aku membalas senyuman Aris. 
Mbok Dar yang kebetulan lewat sempat memecah obrolanku dan Aris.

"Oh, ya, Mbok, ini Aris, adikku."

 Mbok Dar tersenyum dan saling bersalaman dengan adikku. Setelah bersalaman, Mbok Dar terlihat memikirkan sesuatu. Aku bisa membaca gerak-gerik Mbok Dar yang tak biasa itu.
"Ada apa, Mbok?" 

"Ini, Bu, tadi saya narok sapu di belakang, pas mau saya ambil, sapunya tiba-tiba nggak ada."

 Aku mengerutkan kening. "Mbok Dar, lupa kali?" 

"Tapi, Bu, kemarin juga pas saya masak hal serupa terjadi, pisau yang tadi berada di depan saya nggak ada, saya sampai pusing mencari-cari." 

"Terus ketemu nggak, Mbok?" 

"Ketemu, Bu, pas saya mau ngebersihin kamar belakang, pisau itu ada di bawah kolong," ungkap Mbok Dar. 

Aku cukup terkejut dan sedikit bergidik jadi teringat beberapa minggu lalu buku kasku yang hilang lalu muncul kembali di meja. Namun, mungkin saja aku yang lupa. Kutepis semua pikiran itu.

"Mungkin dibawa Bisma ke kamar, Mbok."

 Mbok Dar menatapku, seolah-olah dia tahu aku hanya menyembunyikan ketakutanku. 

"Mbok Dar, nyari sapu dengan gagang kayu ada leretnya biru, ya?" tanya Aris.

"Mas Aris kok tahu?" Mbok Dar balas tanya.

Aku menoleh pada Aris, heran, kenapa ia bisa tahu. 

"Tadi pas saya masuk pagar sempet lihat sapu di tong sampah depan. Saya pikir sapu masih bagus kok dibuang," jawab Aris dan jawaban itu membuatku dan Mbok Dar bertanya-tanya, tapi tak ada yang saling menimpali.

Mbok Dar segera ke depan dan mengambil sapu itu, tanpa mengatakan apa-apa, mungkin ia tak mau membuatku ketakutan. Larut dalam hal misterius itu terbelah saat suara tangisan Rama memecah dari dalam kamar.

Apa yang terjadi pada bayiku? Kenapa tangisnya begitu nyaring?

Bersambung 

Komentar

Login untuk melihat komentar!