TANAH MISTERIUS
Subuh menjelang, meski matahari keluar dengan malu-malu, aku masih bisa merasakan cahaya pagi mulai muncul dalam kegelapan. Sejak semalam aku tak dapat tidur. Ah, aku masih saja kepikiran kata-kata Bisma di kamar mandi umum itu.

Ah, masa sih Bisma melihat sosok aneh, hmm, rasanya aku tak ingin mempercayai kejadian malam itu, daripada aku semakin takut. Aku berusaha menepis kegusaranku.

Aku berdiri dari dudukku, menutup pintu kamar, tetapi sesuatu yang aneh membuat keningku mengerut.

"Dari mana tanah ini?"

Kulihat dengan seksama segenggam tanah lembab di depan pintu kamarku.

"Mungkin ini rayap!"

Aku melangkahi tanah itu dan berputar rumah mencari sapu.

"Di mana, sih, sapunya?"

Aku hampir bingung berputar rumah mencari sapu.

"Apa mungkin di belakang?"

Akhirnya kuputuskan ke belakang rumah.

Kubuka pintu belakang dengan pelan, udara segar fajar menerpa wajahku.

"Sudah pukul subuh, tapi ... langit masih tampak gulita."

Setelah kudapatkan sapu yang bersandar di tembok, meski tampak enggan dan sedikit bergidik, mataku tak bisa dihentikan untuk menatap bangunan tua di belakang rumahku ... AULA.

Aku sedikit heran dengan apa yang kulihat, tak mungkin salah, itu pasti Bu Endar. Aku memicingkan mata untuk melihat lebih jelas, ya betul, itu Bu Endar, tapi kenapa subuh-subuh begini dia masuk ke dalam bangunan aula? Dan yang lebih membuatku heran, Bu Endar tak sendiri tapi ... bersama putrinya.

"Mbak Laras sedang memperhatikan apa?"

Suara Aris mengangetkanku, aku menoleh. "Ah, kamu, Ris, bikin Mbak kaget saja."

Aris melongo ke luar pintu. "Lihat apa sih, Mbak? Kok, serius banget."

"Mbak Laras tadi lihat tetangga yang berjalan ke aula."

"Masa, sih, Mbak? Subuh-subuh gini kok ada yang masuk ke bangunan angker itu."

Aku memandang Aris dengan seksama.
"Kenapa kamu tahu bangunan itu angker Ris?"

Aris menutup pintu belakang. "Masuk dulu yuk, Mbak." Aris menghela sedikit lalu meneruskan kalimatnya. "Aris pernah mimpi, Mbak, di mimpi Aris itu ada wanita tinggi besar berambut pirang, separuh wajahnya cantik dan separuh lagi tengkorak. Aris yakin itu hantu wanita Belanda penunggu Aula itu."

Aku mengulum bibir dan menelan ludah. "Gosip itu ternyata bukan isapan jempol belaka."

"Maksudnya apa, Mbak?"

"Menurut om-om yang pernah jaga malam dan beberapa ada yang melihat hantu wanita Belanda itu duduk di atas genteng aula itu. Ciri-cirinya persis seperti yang kamu utarakan, Ris."

**

Terdengar pintu kayu diketuk.
Bisma yang tadinya sibuk memainkan karet gelang beranjak dari duduknya dan membuka pintu.
Dua orang ibu dengan wajah cemas dan napas terengah-engah muncul dari pintu.

Bisma segera berlari masuk. "Bu!" panggilnya.

Aku keluar dari kamar. "Ada apa, Nak?"

Sebelum Bisma menjawab, aku sudah tahu apa yang akan ia katakan. Aku tahu jika ada tamu datang.

"Bu Kus, Bu Dim, ada apa, Bu?"

"Anu, itu, itu Bu, Bu Endar meninggal dunia."

Aku terkejut. "Innalillahi."
Aku terdiam terpaku, kutatap Bu Kus dan Bu Dim yang pasti sama kagetnya denganku.

 "Meninggalnya kapan, Bu?"

Bu Dim menghela. "Diduga tengah malam, Bu. Ibu tahu kan tadi malam lampu tiba-tiba mati?"

Aku mengangguk, masih mengira-ngira apa hubungan antara kematian Bu Endar dan kejadian mati lampu semalam.

"Diduga, Ratih, anak Bu Endar semalam kesetrum dan karena panik kemungkinan Bu Endar ingin menolong putrinya, tapi nahas ia juga ikut tersetrum. Setelah itu listrik sebatalyon jadi padam," ujar Bu Kus

Aku terpekik kaget. "Tadi malam, Bu?"

Bu Kus mengangguk. "Iya, Bu. Kasihan, mana Pak Endar pas kebetulan lagi patroli keluar."

"Tadi malam, Bu, meninggalnya?" Aku mengulangi pertanyaanku.

"Iya, Bu Mukti."

Ah, rasanya tak bisa kupercaya. Jika Bu Endar dan putrinya meninggal tadi malam, lalu siapa yang kulihat tadi subuh masuk ke aula?

Aku melirik jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi.

"Lalu kapan Bu Endar diketahui sudah meninggal?" tanyaku.

"Baru saja, Bu. Pak Endar baru pulang patroli dan mendapati anak dan istrinya sudah tiada, jenazahnya agak gosong, Bu," ungkap Bu Dim.
Aku merinding seketika.

Kasihan Bu Endar, hmm, rumahnya memang jauh dari rumahku. Rumah almarhumah berada di ujung gang.

"Kenapa saat kejadian kesetrum itu tak ada yang mendengar teriakan Bu Endar?"

Bu Kus angkat bicara. "Gimana mau denger, Bu, dua rumah di samping rumah Bu Endar kan kosong!"

Aku terdiam, berpikir sejenak lalu menatap Bu Kus. "Kosong gimana sih, Bu Kus, kan di sebelah rumah Bu Endar itu rumahnya Bu Urip, nah kalau sebelahnya Bu Urip saya tahu kalau kosong karena penghuninya baru pindah tiga hari yang lalu kan?"
Bu Kus tertawa samar. "Bu Mukti ini gimana sih, Bu Urip kan sudah pindah ke Malang. Bahkan Pak Mukti ikut bantu-bantu loh saat keluarga Pak Urip pindahan."

Aku terperangah. "Ah, tidak mungkin! Saya baru beberapa minggu yang lalu ketemu Bu Urip di lapangan voli" Aku jadi teringat saat Bu Urip berkata jika ingin menggendong Rama, tetapi saat itu Bisma menarikku karena ia minta jajan.

Kutatap Bu Kus dan Bu Dim yang mematung di depanku. Alis Bu Dim mengerut seolah akan tersambung satu sama lain. "Nggak mungkin, Bu Mukti ketemu Bu Urip, keluarga Pak Urip itu sudah lama pindah, bahkan sebelum suami-suami kita berangkat tugas."

Sekujur tubuhku gemetar.

Bersambung 

Komentar

Login untuk melihat komentar!