BISMA DI MANA?
"Lho, ada apa dengan aula itu, Bu?"

"Ah, enggak apa-apa, Bu."

Aku lantas tertawa saja, bisa jadi dia hanya mencandaiku, mungkin, daripada tak ada obrolan.

"Ah, Bu Urip ini nakut-nakutin saya aja."

Akan tetapi, Bu Urip hanya diam menatapku, matanya kemudian turun dan memandangi bayiku, Rama. "Lucu ya bayi Bu Mukti."
Tangan Bu Urip mengusap-usap bayiku.
"Boleh saya menggendong bayi Ibu?"

Aneh, di saat aku tertawa, dia diam saja dan malah justru mengalihkan pembicaraan dengan mengusap-usap Rama, tetapi aku mengiyakan saja sembari melepas gendongan jarik Rama.

Sebuah tangan kecil menarik ujung bajuku.
"Bu, Bisma mau jajan."

Aku kembali merekatkan gendongan jarik bayiku. "Duh, maaf, Bu Urip. Ini, Bisma, minta jajan."
Bu Urip mengangguk sebagai jawaban, aku berpamitan dan berlalu pergi.

Entah kenapa aku merasa Bisma datang di saat yang tepat, sepertinya keputusan baik tak memberikan Rama pada Bu Urip. Meski demikian, aku tak tahu sebabnya. Hanya merasa ada yang aneh pada Bu Urip.

***

Seminggu berlalu ....

"Mbok Dar, bawa apa?" tanyaku heran meski sebenarnya aku tahu jika Mbok Dar membawa tanaman eporbia dan dewandaru.

"Maaf, Bu, saya ingin menanam ini di belakang rumah dan di halaman depan dekat jendela kamar Ibu."

"Mbok Dar, suka menanam, ya?"

Mbok Dar tersenyum sekadarnya tanpa menjawab.

"Yaudah, Mbok, silakan saja. Saya sebenarnya dari dulu mau mencoba penghijauan, tapi nggak pernah sempat."

Tak lama Mbok Dar pamit ke belakang rumah, lalu ke halaman depan.
Bisma mengikuti Mbok Dar ke depan, aku bisa mendengar Bisma bertanya apa pun yang ada di kepalanya pada wanit tua yang masih memiliki tenaga yang cukup kuat saat menggendong Bisma.

**

"Mbok, ini tanaman buat mainan, ya?" celoteh polos Bisma.
Mbok Dar terkekeh mendengar perkataan Bisma, ia lalu mengusap punggung Bisma, aku bisa melihatnya dari jendela.

"Nang (sebutan untuk anak laki-laki Jawa), jangan dirusak ya tanaman ini. Ini untuk melindungi rumah."

Aku menerka-nerka maksud Mbok Dar, tapi kusimpulkan saja dari awal memang Mbok Dar penganut adat istiadat, jadinya aku tak terlalu peduli.

Sebelum Mbok Dar pamit pulang sore itu, ia menegaskan padaku dengan logat amat sopan. "Bu, apa pun yang terjadi, jangan sampai tanaman-tanaman itu rusak."

Kuiyakan saja biar tak jadi beban pikirannya, lagi pula alasan apa aku harus merusak tanaman-tanaman cantik yang menghiasi rumahku ini, toh aku juga senang ada tanaman yang tak perlu repot-repot kutanam sendiri.

***

Dengan seragam hijau pupus yang sangat kubanggakan, aku duduk di deretan paling belakang di sebuah pertemuan rutin ibu-ibu, aku sengaja duduk di deretan paling belakang karena sungkan bila Rama tiba-tiba menangis dan mengganggu jalannya acara. Aku menengok ke luar ruangan, masih kulihat tubuh mungil Bisma bermain sama kawan sebayanya karena tak hanya aku saja yang membawa anak. Namun, 60% ibu-ibu di sini membawa anaknya yang masih balita. Kuperhatikan Bu Komandan memberi pengarahan, semua ibu-ibu menyimak dengan penuh perhatian, tak ada yang berbicara atau mengobrol sendiri, ya, karena Bu Komandan kali ini lebih tegas kepribadiannya. Beliau mempunyai tatapan mata yang tegas, meskipun jarang berbicara. Yang kutahu beliau orang yang baik, mau menyambangi bawahannya dengan ramah dan tanpa gengsi, penampilannya pun sedehana. Sebenarnya beberapa kali kulihat sikap beliau agak ganjil, lebih sering terdiam dengan lamunan. Tapi itu wajar saja, beliau baru saja kehilangan anak pertamanya 4 bulan yang lalu. Ada yang bilang jika almarhum Mas Rio, anak Bu Komandan, sakit demam sebelum meninggal, tetapi ada juga yang bilang jika kematiannya mendadak, terdapat bekas hitam di sekitar pelipis dan paha. Aku tak mengerti dengan kabar kabur itu, yang pasti aku turut prihatin.

"Bulek Mukti," suara seorang bocah, aku menoleh. "Bulek, Bisma lari masuk ke aula!"

Aku terbelalak. Terkejut. Dengan terburu-buru aku menitipkan Rama pada Bu Jaelani yang duduk di sebelahku. Sedikit mengendap-endap aku keluar dari ruangan. Seribu kecemasan berputar di pikiranku, sebenarnya hal yang wajar saja jika anak-anak main di mana saja asal bukan tempat berbahaya, termasuk aula. Namun, desas-desus miring membuat nyaliku menciut.

Aku berjalan ke arah samping, kebetulan ruangan pertemuan dengan aula memang berdampingan. Sempat kutanya Ilham, anak Bu Pur yang tadi main bersama Bisma, mereka hanya main kejar-kejaran, tetapi entah mengapa tiba-tiba Bisma langsung berlari masuk ke dalam aula.

Aku mulai berjalan, semakin dekat, semakin dekat dan kini aku telah berdiri tepat di depan pintu aula yang terbuat dari kayu jati yang kini telah usang.

Aku menarik napas sebelum jari jemariku benar-benar menyentuh gagang pintu. Aku tahu, aku wanita pemberani, demi anakku. Meski sebenarnya, sedikit membuatku gugup.

KREEEKKK ....

Kubuka pintu aula, bau pengap semerbak menusuk hidung, tentu saja karena ruangan ini lama tak dijamah. Jendela di beberapa sisi tertutup rapat, sarang laba-laba di mana-mana sekilas tampak mirip bayangan putih.

Aku berjalan selangkah, dua langkah ke dalam ruangan, senjata-senjata usang menumpuk, tiang berkarat agak tinggi sempat membuatku kaget, seolah-olah itu adalah orang yang bediri dan amat tinggi.

Kukuatkan diriku, aku meyakinkan diri jika aku bukan penakut. Mataku berkeliling mencari Bisma.
"Bisma ...?" panggilku pelan.

Hening. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi.
"Bisma ...?"

Tetap hening.

Aku menelan ludah, kali ini kulihat alat musik Jawa kuno yang disebut gamelan, terbuat dari kuningan dengan ukiran klasik, terpajang rapi dan amat berdebu.

Aku bergumam dalam hati, Oh, ini gamelan yang ramai dibicarakan orang-orang.

Aku kembali menelan ludah, tengkukku rasanya dingin lama-kelamaan memandang gamelan itu.

Aku masih berusaha menguatkan nyaliku, kuanggap omongan ibu-ibu itu hanyalah isapan jempol belaka.

"Bisma ...?" Kembali kupanggil anakku.

BRAKK!

Bersambung 

Komentar

Login untuk melihat komentar!