Paman Jani
“Apa yang bisa saya bantu, Pak Jani?” Pratama mengedarkan pandangan tegas kepada seorang karyawan di depannya. 

“Anu ... maaf sekali, Pak Direktur. Saya tidak tahu harus minta tolong kepada siapa kalau bukan Anda.” 

“Langsung ke intinya saja, Pak, silakan!”

“Begini, Pak. Saya memiliki keponakan. Usianya sudah delapan belas tahun. Sedari kecil saya yang mengasuhnya. Tapi begitu saya bekerja di sini, keponakan saya tinggal sendiri di Jakarta.” Jani mengambil napas sejenak. “Kalau saya mengajaknya ke sini, saya tidak ada tempat tinggal. Hanya ada satu petak kamar saja di tempat saya mengontrak. Tapi kalau dia menetap di Jakarta, saya menjadi khawatir.”

“Lantas, apa yang bisa saya lakukan?” cecar Pratama.

“Tolong carikan calon suami yang baik untuknya.”

Pratama termenung. “Kenapa harus meminta bantuan semacam itu kepada saya? Bukankah itu tindakan yang terlalu berani?”

“Maaf, maaf sekali, Pak Direktur. Di Jakarta, saya sudah tidak memiliki kerabat. Keponakan saya benar-benar sendiri. Sudah setua ini saya sendiri masih membujang. Saya tidak tahu harus berbuat apa.” 

Ruangan kerja berkonsep futuristik lengang sejenak. Pratama kembali termenung. Tidak habis pikir, kenapa ia harus menghadapi persoalan seperti ini. 

“Bawa saja dia ke rumahku. Di sana ada beberapa asisten rumah tangga yang bisa menjadi temannya.”

“Ta-tapi, Pak.”

“Saya jarang pulang ke rumah.”

Dengan mata berkaca-kaca Jani tidak berhenti mengucapkan terima kasih. “Sekali lagi terima kasih, Pak. Saya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Anda.” 

“Sudahlah, sekarang yang terpenting kamu harus fokus bekerja.”

“Baik, Pak.”

***

Akhir pekan, seperti biasa Pratama pulang ke rumah. Setiap kali pergi ke rumah besar itu, ia berharap putrinya datang mengunjunginya. Namun, seperti yang sudah-sudah, harapan itu hanya sebuah angan-angan kosong yang tak pernah terjadi.

Kali ini Pratama pulang ke rumah mengajak Jani. Sejak dua hari lalu keponakan Jani tiba di rumah Pratama. 

Jani yang baru turun dari mobil tercengang. Kedua matanya melebar. Baru saja ia turun dari mobil mewah Pratama. Sekarang di hadapannya terbentang rumah raksasa bak istana. Halamannya saja lebih luas dari lapangan sepak bola. Di tengah-tengah halaman terdapat air mancur yang dikelilingi bermacam-macam tanaman mahal. Perasaan takjub menyelimuti Jani. 

Saat memasuki rumah besar itu, rasa kagum Jani bertambah. Belum pernah dalam hidupnya melihat rumah sebagus itu. Barang-barang mahal yang tertata rapi, pilar-pilar besar yang kerap ditemuinya sepanjang kakinya melangkah, serta semua hal yang ada di dalam setiap ruangan membuat Jani geleng-geleng kepala.

“Bener-bener, baru kali ini aku memasuki sebuah istana,” gumam Jani masih terpesona.

“Ada apa, Pak Jani?” tanya Pratama mengagetkan Jani.

“Eh, enggak, Pak.”

“Kamar tamu di sebelah ruang makan. Kamu bisa beristirahat di sana.” Pratama beranjak menaiki tangga yang melingkar seperti ular, menuju kamarnya di lantai dua.

“Terima kasih banyak, Pak.”

Jani hendak menuju ke kamarnya. Namun, suara seseorang memanggil, membuat langkahnya terhenti.  

“Paman!” Khansa, keponakan Jani satu-satunya berseru.

“Khan ....”

Khansa mencium tangan pamannya dengan linangan air mata. Sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Jani hampir tidak pernah kembali ke Jakarta menengok keponakannya itu.

“Kamu sudah sangat besar Khan. Maafkan pamanmu ini yang tak pernah pulang.”

“Sudahlah, Paman. Aku baik-baik saja. Mengetahui Paman sehat begini, aku jadi lega. Bagaimana pekerjaan Paman di sini?”

“Aku bekerja di perusahaan milik Pak Pratama, pemilik rumah ini. Tempat kerjaku tidak di sini. Tapi di Sangatta, cukup jauh kalau dari sini.” 

“Lantas, kenapa Paman menyuruhku tinggal di sini? Kenapa kita tidak menyewa rumah saja untuk tinggal?” 

“Kamu dikasih gratis tinggal di sini. Tidak ada pimpinan sebaik Pak Pratama. Harusnya kamu bersyukur. Gajiku bisa ditabung buat masa tuaku nanti. Kamu tahu sendiri, aku tidak beristri juga tidak memiliki anak.”

“Aku udah bilang berkali-kali sama Paman, Paman harus berumah tangga. Itu sunah Rasulullah.”

“Ah, sudahlah. Simpan ceramahmu itu. Untuk membiayai hidup kita saja aku harus mati-matian banting tulang. Kalau aku menikah, orang yang harus kubiayai bertambah saja. Aku tidak ingin terbebani dengan hal itu.” Jani mendengkus kesal. Keponakannya itu benar-benar tidak tahu diuntung.

“Astagfirullah. Rezeki udah dijamin sama Allah, Paman. Kalau begitu Paman pinjami aku uang untuk modal usaha.” 

“Lupakan saja pikiran semacam itu!”

“Maksud Paman apa? Aku disuruh hidup menumpang di tempat orang lain. Padahal aku bisa hidup mandiri dan bekerja.” Khansa yang biasanya kalem terpaksa sekarang berbicara cukup banyak. “Paman, aku udah dewasa. Aku enggak mau bergantung terus sama Paman. Terima kasih atas perjuangan Paman selama ini untukku. Izinkan aku membalas semua kebaikan Paman.”

“Menikahlah! Cari laki-laki yang baik dan kaya. Biar aku bisa hidup tenang.” Jani sudah beranjak ke kamarnya. 

Sedari tadi Paman dan keponakan itu berseteru. Tanpa mereka sadari, diam-diam ada yang memperhatikan keduanya. Pratama berdiri di depan tangga. Memasukkan dua tangannya ke dalam saku celana. Baginya, untuk menghidupi satu orang di rumahnya sama sekali bukan masalah besar. Akan tetapi, ia setuju dengan cara berpikir gadis itu. Pratama kemudian melenggang pergi sebelum Khansa memergoki dirinya. 

Khansa masih mematung. Dadanya terasa sesak. Haruskah ia hidup di tempat orang lain yang tidak ada hubungan kerabat apa pun dengannya? 

Jani duduk di tepi ranjang. Pikirannya bergelayut mengenang perjuangan yang selama ini telah ia lakukan untuk keponakannya. Ayah Khansa yang merupakan kakak tunggalnya telah berwasiat sebelum kematiannya. Ia menyerahkan hak wali atas Khansa kepada Jani sepenuhnya. Hal itu semacam beban berat yang diletakkan di pundak Jani. Ibu Khansa meninggal setelah melahirkan Khansa. Sementara ayahnya meninggal karena serangan jantung. Di Jakarta, Khansa yang malang hanya memiliki paman yang sama malangnya dengan dirinya. Orang tua Khansa hanya meninggalkan sedikit harta. 

Jani harus memeras keringat sebagai buruh serabutan di ibu kota untuk menyambung hidup. Beruntung, Pratama yang melihat Jani pada sebuah proyek bangunan sebagai pekerja yang gigih merekrutnya bekerja di perusahaannya di Kalimantan. Berangkatlah Jani ke Kalimantan untuk bekerja. Khansa yang masih empat belas tahun hidupnya penuh kesendirian. 

Setiap bulan, pamannya selalu mengirimi uang untuk makan dan biaya sekolah. Akan tetapi, Khansa butuh perhatian pamannya. Kalau ada pertemuan orang tua di sekolah, gadis itu selalu merasa sedih. Ia selalu meminta bantuan tetangga untuk mewakili pamannya. 

Hingga akhirnya, pada suatu hari Jani menelepon Khansa untuk menyusul ke Kalimantan. Namun, Khansa tidak pernah tahu kalau ia dititipkan di rumah orang asing. Oh, Khansa yang sungguh malang.

=====

Jangan lupa like dan komennya ya. Mau dapat penghasilan dari baca cerita saya? Caranya gampang banget lho. Kamu cukup share link cerita dan mempromosikan ke teman-teman kamu. Jika ada yang beli koin di novel ini, kamu juga bakal dapat penghasilan.

Ceritanya :
1. Suami Rahasia
2. Demi 500 Juta (END) 
3. Dinikahi Bos Jutek (END) 
4. Pura-pura Mlarat (END) 
5. Lipstik di Leher Suamiku (END) 
6. Pasca Bercerai (END) 
7. Dipoligami Karena Mandul (END) 
8. Pangeran Arogan (END) 
9. Mencari Ayah untuk Anakku (END) 
10. Ditinggal Pada Malam Pertama (END) 
11. Suamiku Mata-Mata
12. Suami Simpanan Bos
13. Dilamar Ustadz
14. Nikah Muda
15. Mencintai Kakak Ipar
16. Mertua Banyak Maunya

Ada juga cerita yang belum dikunci lho. 
1. Dua Hari Bersama Mas Duda
2. Wanita yang Ternoda
3. Mengejar Cinta Gus
4. Menikahi Tuan Muda
5. Lelaki Masa Depan
6. Cool Bos
7. Fitnah di Pesantren
8. Pengasuh 100 Hari
9. Malam Pertama Khanza
10. Dihina Jelek di Reuni Sekolah Suamiku

Kapan lagi baca novel sekaligus dapat cuan? Yuk dishare.

Komentar

Login untuk melihat komentar!