Contoh Artikel 2

Mengikis Jurang Digital Perempuan

Penulis: Arif Budi Rahman

Sumber: koran jakarta,
Senin 5/8/2019


Di tengah din­amika per­t u m b u h a n ekonomi yang cukup tinggi dalam bebera­pa dekade terakhir, ternyata Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan In­donesia masih sangat rendah. BPS mencatat TPAK laki-laki sebesar 83,18 persen, sedan­gkan perempuan hanya 55,5 persen pada Februari 2019. Kendati angka TPAK perem­puan meningkat 0,06 persen poin dari tahun sebelumnya, capaian ini tidak beranjak jauh dari rata-rata 50 persen. Se­mentara itu, partisipasi pria telah melonjak menjadi lebih dari 80 persen.
Pada saat yang sama, prolif­erasi ekonomi digital dewasa ini sejatinya menawarkan ber­bagai peluang meningkatkan partisipasi dan pemberday­aan perempuan melalui kewi­rausahaan (entrepreneurship) digital. Tetapi sayang kesen­jangan tingkat partisipasi kerja masih begitu lebar.

Dalam komunike G-20 “Em­powering Women in the Digi­tal Age,” disebutkan, digital­isasi sebenarnya lebih ramah terhadap kaum perempuan. Mereka memiliki keunggulan komparatif berupa keteram­pilan sosial yang lebih sulit digantikan robot. Jadi, wanita memiliki risiko lebih rendah digantikan mesin daripada pria. Jika keterampilan sos­ial ini dilengkapi pendidikan memadai dan literasi digital, keunggulan tersebut akan ma­kin kukuh.

Namun, masih ada berbagai kendala yang menghambat ke­majuan wanita untuk menang­kap aneka peluang di era digi­tal saat ini. Kesenjangan digital gender (gender digital divide), ketimpangan penggunaan teknologi informasi antara pria dan wanita dalam bidang eko­nomi, sosial, politik, dan bu­daya masih sangat lebar.

Kesenjangan jumlah perempuan dibanding laki-laki dalam sektor teknologi in­formasi juga tidak terlepas dari stereotip keliru bahwa IT adalah dunia laki-laki. Kesenjangan digital ini pada giliran­nya berpengaruh ter­hadap jumlah usahawan perempuan terkait ekonomi digital.
Laporan Komisi Uni Eropa (2018) bertajuk “Women in the Digital Age” tentang ketimpan­gan gender dalam dunia digital menguatkan temuan bahwa alih-alih menurun, kesen­jangan gender justru mening­kat dengan digitalisasi eko­nomi. Hanya 14,8 persen dari seluruh pendiri usaha rinti­san (start-up) di Eropa adalah perempuan.

Jurang digital terjadi bukan semata terhadap akses teknolo­gi, namun juga kurangnya in­teraksi dan pemanfaatannya. Ini bisa terjadi di antara kaya-miskin, laki-laki-perempuan, dan negara maju-berkembang. Laporan tersebut juga menye­butkan, Eropa memiliki rekor keterlibatan perempuan ter­endah dalam kewirausahaan rintisan di dunia, 6 persen.
Disebutkan, kesenjangan tersebut tidak terlepas dari ketimpangan antara pria dan wanita dalam pendidikan for­mal terkait teknologi informasi yang terus meningkat sejak 2011. Dalam kondisi demikian, wanita seringkali tidak memi­liki keterampilan dan kapasitas memadai untuk memulai bis­nis digital.

Lebih jauh, penelitian OECD (2019) tentang ikhtisar dampak transformasi digital terhadap kehidupan laki-laki dan perempuan menegas­kan pula bahwa transformasi tersebut menciptakan kesen­jangan gender dalam beberapa dimensi seperti pendidikan, fleksibilitas kerja, kesehatan, interaksi sosial, governance, dan keamanan digital.
Terkait dengan fleksibilitas kerja, misalnya, ternyata pria bisa memanfaatkan telework­ing (kerja jarak jauh) lebih ba­nyak daripada perempuan de­ngan perbandingan 20 dan 16 persen. Teleworking memung­kinkan fleksibilitas pengaturan waktu, sehingga menjamin kesimbangan antara kerja dan aktivitas sosial. Kerja se­perti ini juga menghemat waktu dan mereduksi alo­kasi perjalanan ke dan dari kantor.

Dalam konteks global­isasi yang didorong perkem­bangan teknologi informasi dewasa ini, tidak ada jaminan bahwa kesenjangan dan hubungan asimetris antara negara-negara kaya dan miskin juga akan berkurang. Memang, ada kekhawatiran, kesenjangan digital hanya akan mem­perburuk ketimpa­ngan ekonomi. Akhirnya, akan meningkatkan ke tegangan sosial. Ada kegamangan, hanya seba­gian kecil warga dunia yang bakal menangguk keuntungan
.
Patriarkal
Bagi kaum perempuan baik di negara maju mau­pun berkembang yang secara tradisional memiliki sistem patriarkal, ada kemung­kinan akan sangat dirugikan baik dari sisi akses maupun kontrol terhadap industri eko­nomi digital. Dengan kata lain, ekonomi digital bak pisau ber­mata dua: sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan memperlebar kesenjangan.

Apakah digitalisasi akan menggerus atau memperluas kesenjangan gender di era ekonomi digital akan sangat tergantung pada pembuatan kebijakan. Ini perlu upaya serius. Memberi perempuan akses lebih besar ke teknologi digital merupakan titik pijak awal guna meminimalkan ke­senjangan gender dan partisi­pasi kerja. Dalam jangka pen­dek, lokakarya atau pelatihan perlu dilakukan agar mampu beradaptasi dengan digitalisasi ekonomi.

Program jangka panjang yang perlu mendapat atensi, mengikis jurang ketimpangan pendidikan terutama terkait science, technology, engineer­ing, mathematics). Sebuah pe­nelitian yang diinisiasi OECD dan ASEAN (2017) memapar­kan temuan, di Asia Teng­gara, kaum perempuan lebih cenderung memilih fakultas ilmu sosial, humaniora, dan kependidikan ketimbang sains serta enginering. Beruntunglah menurut laporan tersebut, di Indonesia jumlah sarjana perem­puan bidang sains masih be rimbang dengan pria.

Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informa­tika (Menkominfo), ket­ersediaan sumber daya manusia masih sangat minim untuk mendukung perekonomian digital. An­tara tahun 2015 dan 2030, Menkominfo memperki­rakan ada jurang antara kebutuhan dan ketersedi­aan tenaga kerja digital 9 juta karena tidak ada padu padan lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan in­dustri.
Linier dengan investasi SDM dalam sistem pendidi­kan, pengembangan digital entrepreneurship bagi kaum perempuan juga patut diper­timbangkan. Kewirausahaan digital memberikan fleksibili­tas dunia kerja dan urusan rumah tangga. Dia juga me­nawarkan solusi diskriminasi perempuan di dunia kerja reg­uler.

Harus diakui, hambatan bagi kerterlibatan kaum wani­ta dalam wirausaha digital ter­masuk e-dagang masih begitu besar. Selain akses modal dan inklusi keuangan, rendahnya literasi digital juga menyebab­kan kesulitan memanfaatkan platform digital tersebut.
Perempuan banyak hadir di bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Diper­kirakan 60 persen di antara 58 juta UMKM dijalanakan kaum perempuan. Meningkatkan daya saing dan produktivitas UMKM melalui kanal e-da­gang, misalnya, diharapkan dapat menaikkan ekonomi masyarakat dan memotong mata rantai kemiskinan. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!