Ustadz Samsuar menambah kecepatan motor tidak seperti biasa. Dia tidak peduli dengan apapun di depannya. Suasana sejuk di hari itu menambah perjalanan tidak aman untuk dirinya. Namun, karena kepiawan dia, sedikit lagi, motor tersebut akan tiba di depan pagar rumah.
Lampu masih terlihat menyala dari luar rumah. Segera Samsuar mematikan motor. Tidak menunggu lama, segera ia mendorong kendaraan itu menuju beranda rumah Bang Agus dan berterima kasih padanya.
"Rapopo, Tadz. Tidak telat-telat amat. Masih pagi sekali. Hehehe," ucap Bang Agus setelah Samsuar meminta maaf. Lalu, dia melangkah kembali ke halaman rumah dan menuju pintu utama.
Tok! Tok!
"Mona!"
Suara Samsuar menggema dalam ruangan rumah. Namun, tidak ada jawaban dari dalam sana. Sekali lagi sang ustadz memanggil.
"Mona! Monalisa!" Kali ini suaranya sedikit meninggi.
Bang Agus melongok dari rumahnya. Laki-laki itu mendekat ke pagar halamannya.
"Tadz, dobrak aja pintunye." Bang Agus memberi saran.
Sebelum Samsuar mendobrak pintu, dia coba mengintip lewat kaca jendela. Berkali-kali dua pasang matanya mencoba menembus ke dalam sana. Namun, usahanya tersebut tidak membuahkan hasil.
Bang Agus masuk ke rumahnya sambil menggerutu.
"Ustadz itu gimana? Kalau rumah saya, udeh tak dobrak itu pintu.
***
Kyai Salim hadir lebih dulu di meja makan. Biasanya, kalau bukan istrinya, tentu saja Ziyada yang keduluan start. Beliau sudah berinisiatif menjodohkan putri tunggalnya dengan ustadz Sam. Keinginan yang sudah terpendam lama yang akan diungkapkan kepada sang anak sesaat lagi.
Ziyada berjalan bersama sang ibu menuju meja makan dan duduk di kursi masing-masing. Mereka terkejut secara bersamaan. Hati ke duanya saling bertanya. Apa gerangan yang membuat sang kyai hadir lebih awal.
Ziyada mengambil posisi sembari memperhatikan sang ayah. Sesekali, matanya melempar pandang ke arah Bu Nyai.
"Ehemmm." Kyai memulai memancing.
Bu Nyai bertanya dengan isyarah wajahnya kepada sang anak. Ziyada hanya balas menggeleng.
"Kebetulan sekali. Ada sesuatu yang Abah ingin sampaikan padamu, Nduk."
Kyai Salim menatap tanpa berkedip ke arah Ziyada.
"Ada hal pentingkah, Abah?" Ziyada mengerutkan dahi.
"Nduk keberatan?" Kyai menajamkan lagi tatapannya.
"Tumben aja, Bah. Biasanya, kan, bahasnya di ruang tamu. Lah, ini, kan, enggak?"
Karena sedikit rasa khawatir, Ziyada melempar pandang ke arah sang ibu. Bu Nyai membalas mengangkat bahu sebagai isyarah tidak tahu apa-apa.
"Nduk, umurmu, kan, sudah 20 tahun lebih? Abah dan Ummimu ini sudah tidak sekuat dulu. Dulu sekali, Abah mengharapkan yang lahir anak laki-laki sebagai penerus Pondok pesantren ini. Karena kamu perempuan, Abah ingin kelanjutan ini dari keturunanmu."
Ziyada spontan menunduk. Di sudah tahu ke mana arah bahasan di meja makan itu.
"Maksud, Abah? Ziyada mau dijo...."
"Tepat, Nduk." Kyai Salim memotong, tidak membiarkan Ziyada menghabiskan ucapannya.
Antara bimbang yang sangat mendalam. Wanita muda itu masih was-was. Siapa laki-laki yang akan dicalonkan dengan dirinya sebentar lagi.
Sementara dirinya, sudah lama memendam rasa ingin sekali dipersunting oleh Ustadz Samsuar. Laki-laki yang banyak diidam-idamkan oleh para santriwari, termasuk dirinya.
Goresan hati mulai membisiki Ziyada untuk menolak mentah-mentah perjodohan tersebut. Di tidak tahu jika laki-laki idamannya adalah orang yang dimaksud oleh sang ayah. Karena kecerobohan dirinya, dia tidak sempat mendengar nama laki-laki yang akan disebut oleh Kyai sesaat lagi.
Suasana pun kini seperti mendukung dirinya. Dahi putri Kyai Salim itu mulai menampakkan butiran bening. Sesekali dia menyekanya. Ada apa ini? Cuaca sejuk sepagi ini tidak bersahabat dengan Ziyada?
"Abah." Ziyada spontan berdiri.
"Kenapa, Nduk?" Kyai Salim refleks dengan berdirinya sang anak. Bu Nyai juga ikut terheran-heran.
"Abah, kita bahasnya nanti saja, gimana? Biar kita fokus makan saja dulu."
Ziyada tersenyum canggung. Di coba menutupi kemauan hatinya dengan cara halus.
Namun, bukan Kyai Salim namanya, jika gelagat anak sendiri tidak mampu dibacanya.
"Hehehe, Abah, ikut Nduk saja."
Bu Nyai hanya jadi penonton budiman di hari itu. Beliau
cuma melempar pandang ke sana ke mari saat ke dua
orang terkasihnya saling bicara.
***
Nuraini berjalan pelan-pelan ke rumah Bu Nyai tanpa
ditemani siapapun. Padahal, wanita itu hampir tidak ada
waktu jika berjalan ke mana saja, akan ditemani oleh teman ngajinya. Ada hal lain hari itu yang membuat
wanita berbaju putih polos berani sendirian.
Rupanya di depan pintu rumah, Bu Nyai sudah
menunggu. Ke dua wanita tersebut lebih dulu membuat
perjanjian pertemuan di awal malam.
"Assalamualaikum, Bu Nyai." Nuraini bergegas mencium tangan istri sang Kyai.
"Waalaikum salam, Nduk." Bu Nyai mencium kening Nuraini. Wanita muda tersebut sudah dianggap sebagai
anak sendiri. Karena itu, hal yang membahas pribadinya pasti juga direspon Bu Nyai.
"Ayo masuk. Tenang saja. Cuma kita berdua di sini. Abahnya ziyada sudah berangkat mengajar Kitab
Tasawuf," beritahu Bu Nyai. Nuraini balas menyuging
senyum.
"Bagaimana? Kamu sudah yakin ingin berumah tangga?" Bu Nyai memulai bahasan.
"Udah, Bu Nyai."
"Nduk Nur sudah siap kalau saya sampaikan besok?"
"Lebih cepat lebih baik, Nyai."
"Kamu sudah siap segalanya?" Lagi, Bu Nyai bertanya.
Nuraini meminta Bu Nyai menyampaikan hasratnya
kepada Ustadz Samsuar. Wanita itu ingin sekali seatap
dengan pria yang sudah mengabdi lama dengan Kyai Salim. Wajar, jika hampir seluruh santriwati pondok itu menaruh hati padanya.
"Kalau ditolak?" Bu Nyai ingin melihat reaksi Nuraini.
Beliau sendiri juga belum tahu, jika Ziyada putri semata
wayangnya juga menaruh perasaan pada orang yang
sama.
Dunia ini seakan sempit. Kenapa cinta terkadang menuju satu hati dari banyaknya hati?
Bersambung ...
Login untuk melihat komentar!