Pintu Rumah terbuka untuk Mona

Handphone Samsuar berbunyi. Satu pesan masuk atas nama Nuraini.

[Assalamualaikum, Ustadz. Apakah barangnya belum diantar?]

"Astagfirullah!" Samsuar sudah terlupa.

Pesan secepatnya dibalas. Kemudian, dia menghidupkan motor. Sebelum berangkat, laki-laki itu kembali ke dalam rumah untuk mengambil barang yang seharusnya diantar kemaren karena terhalang membantu Monalisa.

Mata Samsuar menyapu area jalan untuk menemukan keberadaan Monalisa. Wanita yang mengaku sebagai seorang pelacur itu telah jauh langkah kakinya. Sehingga, Samsuar sendiri tidak mendapati sosok sang wanita sejauh mata memandang. Kecepatan kini dia tambahkan untuk mendapatkan Monalisa.

Samsuar ingin membelok kanan untuk mengantar barang. Namun, di jalan berbelok kiri menuju arah pesantren terlihat beberapa warga berkerumunan. Laki-laki itu mengerutkan dahi serta mengukir dua alisnya saling bertautan. Lantas menghampiri bertautan tersebut.

"Wanita kotor sepertimu bukan di sini tempatnya!"

Salah seorang wanita muda mengumpat keras. Warga yang lain pun tidak mau kalah dan mengiyakan ucapan sesama mereka.

Feeling kuat terlintas di kepala Sam, kalau yang mereka cerca itu pasti Monalisa. Dia segera menepikan motor dan secepatnya menerobos masuk secara paksa ke dalam sana.

"Sudah! Sudah!" Suara Samsuar menggema dan membuat semuanya terdiam. Semua warga di sana sontak kaget dengan kehadiran laki-laki yang sudah dikenal sebagai seorang ustadz.

Di sisi mereka Monalisa terduduk berlantai aspal dengan mata sembab. Dia hanya bisa menangisi nasibnya yang tidak kunjung usai.

Tidak ada satu pun warga di pagi itu yang tak menatap Sang Ustadz. Semua mata membulat seolah ingin menyergap laki-laki yang sudah berdiri di depan mereka.

Ada yang berbisik sesama kenapa Ustadz di depan mereka tiba-tiba hadir sebagai pahlawan membela seorang wanita kotor seperti Monalisa. Itu sama sekali tidak pantas menurut mereka.

"Ustadz! Dia ini pelacur!" teriak seorang lelaki berkumis memberi tahunya.

Sebagai seorang Ustadz, Samsuar sudah tahu cara menghadapi semua watak manusia. Di pesantren tempat dia tinggal, semua jenis tipe manusia ada di sana. Karena itu, teriakan barusan tidak dia balas begitu saja.

Samsuar melangkah pelan mendekati lelaki tadi. Kemudian, mendekatkan mulutnya ke telinga sang lelaki. Ada sesuatu yang dibisikkan oleh sang Ustadz yang tidak boleh didengar warga lain.

Sekejap, lelaki itu memekik, "Sudah, bubar! Bubar!"

Tidak menunggu lama, semua warga kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah di sana yang hanya tersisa Samsuar dan Monalisa. Sang ustadz tersenyum puas. Usahanya membubarkan para warga sudah berhasil.

"Mau apa lagi kamu kemari? Aku ini wanita kotor. Apa kamu tidak malu bersamaku di sini?"

Monalisa masih menunduk. Hatinya sudah benar-benar hancur. Dulu, sebutan pelacur kepadanya hanya dia dengar di rumah pelacuran. Kini, panggilan itu telah merebak keluar di mulut orang-orang. Monalisa merasakan dadanya semakin sesak.

Samsuar coba melutut di sisi Monalisa. Secepatnya, wanita itu merangkul dua pahanya. Seakan ingin menghindari manusia yang dia rasa tidak bernasib hina dan kotor seperti dirinya.

"Kamu belum memaafkan karena ketidak tahuan saya?"

Sam berkata pelan. Tatapannya coba menerobos mata Monalisa. Wanita itu spontan membuang muka.

"Sekarang kamu sudah tau ... kalau aku ini pelacur dan apa kamu tidak malu kalau ...." Monalisa masih belum menatap Samsuar.

"Sudah, sudahlah. Ini." Samsuar tidak membiarkan Mona selesai berbicara. Laki-laki yang memakai baju koko itu menyerahkan kembali kunci rumahnya.

"Buat apa ini? Bukankah kamu tadi mengusirku?"

Mona tidak segera mengambil kunci. Sam bangkit berdiri sembari mengacak pinggang.

"Huuufff!"

"Kenapa? Bosan ngomong sama wanita sepertiku?"

Monalisa terus berbicara tanpa sedikit pun ditanggapi oleh Sam. Sesekali dia coba mengangkat wajah untuk melihat reaksi sang Ustadz di depannya. Bagai gayung bersambut. Tatapan mata Samsuar tepat menembak mata bening Monalisa.

"Kamu mau mati konyol di sini? Mayatmu dilempar ke kandang anjing piaraan mereka?" Samsuar menunjuk arah rumah para warga.

Mata Monalisa mengedip pelan. Hatinya berkata, sang Ustadz di depannya kini menerimanya. Dia coba bangkit dan lantas pelan-pelan berdiri.

"Ikuti saya."

Sam terus berlalu menuju motor di seberang jalan. Lantas mendorongnya hingga kembali ke beranda rumah. Mona mengekorinya dari belakang.

"Ini, ambil. Saya harus mengantar barang. Dan, ingat! Kamu tidak boleh keluar sebelum saya pulang. Mengerti?" Mata laki-laki itu membulat ke arah Monalisa.

"Tunggu. Aku tidak bawa apa-apa."

Sedikit tertunduk ketika dia memanggil. Wanita tersebut masih merasa takut menatap wajah sang Ustadz yang berkumis tipis itu.

"Apa yang kamu butuhkan, ambil saja di rumah ini. Dan, ingat, jangan keluar kalau saya belum pulang." Samsuar kembali menegaskan kata-katanya.

"Iya." Monalisa membalas pelan.

Htersebutnya kembali berdering. Samsuar segera merogoh saku. Nama Kyai Salim tertulis jelas di layar ponselnya.

"Assalamualaikum, Kyai," sapa Samsuar mendahului sang guru.

"Waalaikumussalam. Sam, barangnya bagaimana? Ituloh, nanti kita bisa diminta ganti lagi sama mereka."

Kyai Salim menyinggung barang yang harusnya sudah sampai pada pemiliknya.

Sang Ustadz lekat-lekat memperhatikan dengan seksama barang dalam kantong berwana hitam di tangannya. Dahinya mengerut, menelisik apa sebetulnya isinya?


Bersambung ...


Komentar

Login untuk melihat komentar!