Calon-calon bidadari Samsuar

Seperti kebiasaan sehari-hari, Kyai Gaffar menuju pesantren melewati pekarangan bunga milik anaknya. Dengan dibantu tongkatnya, beliau pelan-pelan melangkah hingga terdengar tapak kaki oleh sang anak.

Ulayya menghentikan menyiram bunga-bunga yang dikerumuni kupu-kupu di pagi hari itu.

"Assalamualaikum, Abah," sapa Ulayya Khaira mendahului sembari mencium tangan sang ayah.

"Wa'alaikumsalam, Nduk Uli."

Kyai Gaffar lantas meletakkan tangan di atas kepala putrinya yang baru saja menunduk ta'dhim kepadanya.

Ulayya berkeinginan menanyakan sesuatu perihal ustadz Samsuar. Namun, dia masih malu-malu. Lama rasanya menunggu kabar dari sang ayah tentang kelanjutan rencananya, di saat ini akhirnya dia memberanikan diri.

"Abah, ustadz Sam bagaimana beritanya?"

Ulayya menunduk menatap sang ayah. Dia meremas-remas jemari tangannya sebagai tanda tidak sabar apa yang akan dijawab sang ayah sebentar lagi.

"Ayo kemari dulu, ikut Abah."

Kyai Gaffar mendekat ke kursi panjang di bawah pohon dekat pekarangan bunga. Ke duanya duduk di sana sembari memperhatikan ke depan. Kolam ikan kecil dengan bunga-bunga teratai yang baru saja mengembang menambah indahnya suasana pagi itu.

"Nduk, kalau Abah yang memulai, apa si Nduk sudah siap dengan resiko nantinya?"

Tatapan tajam Kyai tepat menembak dua bola mata Ulayya yang masih bening.

"Maksud, Abah?"

Dahi Ulayya terlihat benar-benar mengerut. Dia belum paham apa yang dimaksud oleh sang ayah.

"Hmmm, begini, Nduk. Kalau nanti Abahmu ini menawarkan Ustadz Sam untuk meminangmu, apa si Nduk sudah siap dengan tanggapan Ustadz Sam? Ditolak atau diterima nantinya?"

Kali ini tatapan Kyai Gaffar nampak sendu. Apalagi, sang anak terlihat serius mendengar ayahnya membahas perihal kehidupannya kelak.

Ulayya Khaira spontan menatap penuh wajah sang ayah. Bagaimana bisa ayahnya berkata demikian? Padahal, tempo hari dia dijanjikan dengan optimis bila ustadz Samsuar tidak akan menolaknya.

"Abah bisa jelaskan kenapa ada kemungkinan nanti Ustadz Sam bakal menolaknya?"

Ulayya rupanya belum puas dengan apa yang sudah dikatakan oleh kyai Gaffar.

"Nduk, Nduk ingat tidak? Jika Kyai Salim juga punya seorang anak perempuan?"

Kyai Gaffar mengarahkan pertanyaan kepada Ulayya. Sang anak sendiri manggut-manggut.

"Lantas, kenapa, Abah, dengan anak Kyai Salim?" Dua mata Ulayya menyipit sebagai mimik serius.

"Nduk, kan, tidak mungkin kalau Kyai Salim tidak tertarik menjadikan mantu Ustadz Sam? Apalagi, Ustadz Sam itu sudah lama mengabdi di pondok beliau."

"Abah sudah dapat kabar, ya? Kalau Ustadz Sam bakal dijodohkan sama anak Kyai Salim?" Pertanyaan berikutnya dari Ulayya ingin memastikan.

"Belum," jawab Kyai Gaffar secara singkat.

"Kalau begitu, kita duluan saja, Abah."

Ulayya mengembangkan pipi sebagai sebuah rasa optimis dia yang akan mendampingi Samsuar kelak. Sang Kyai sendiri tertegun mendengar semangat sang anak.


***


Handphone berbunyi di saku Samsuar. Segera dia merogohnya. Nama Bang Agus tetangga sebelah jelas tertulis di layar. Samsuar kemudian mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Bang." Ustadz Sam mendahului.

"Waalaikumsalam, Ustadz ... Tadz, anu, motornya, Tadz."

Bang Agus malu-malu meminta secara langsung motor baru miliknya yang dipinjamkan kepada ustadz Sam kemaren.

"Astagfirullah, Bang. Sampe lupa. Untung diingetin. Iya, insya Allah saya segera balik ke rumah."

"Ustadz, sekalian saya mau bilang, itu rumah Ustadz kayak ada orangnya," beritahu Bang Agus.

"Siapa?!" Refleks terkejut Samsuar.

"Enggak tau juga. Pokoknya balik saja dulu."

Samsuar menonaktifkan HP. Lantas, buru-buru menemui Kyai Salim di rumahnya. Sam terlihat mempercepat langkah ke rumah sang guru. Dia sangat yakin bila di rumahnya itu pasti Monalisa.

Matahari belum terbit. Sang Kyai duduk santai di beranda rumah ditemani kopi dan sebuah kitab karangan ulama yang rutin dibaca beliau. Kaca mata itu diturunkan begitu mendengar tapak kaki Samsuar semakin terdengar jelas.

"Assalamualaikum Kyai," sapa Samsuar langsung menghampiri dan mencium tangan sang guru.

"Waalaikumsalam. Ada apa pagi-pagi sekali kemari, Sam?"

Kyai Salim meletakkan kitab yang baru dipegangnya beberapa saat.

"Saya pamit pulang ke rumah sebentar. Ada keperluan, Kyai. Penting."

Gelagat Samsuar yang terburu-buru itu rupanya diperhatikan oleh sang guru. Dia seperti tidak sabar akan menjemput sesuatu hal yang akan dilakukannya.

"Tumben, Sam?"

Kyai Salim menelisik dengan tatapan tajam.

"Anu, Kyai. Saya semalam pinjam motor tetangga. Dia bentar lagi mau jualan keliling. Hehehe."

Tertawa Samsuar mencairkan suasana.

"Owh! Tak pikir apa. Pantesan tak lihat semalam Nak Sam sudah tidak pakek motor tua. Rupanya punya orang, toh. Ya harus beli yang baru punya sendiri, Sam. Biar istrimu nanti aman dibonceng. Hehehe." Kyai Salim membalas berkelakar.

"Enggak ada yang mau sama saya, Kyai. Hehehe." Samsuar tertawa lepas.

"Sama Ziyada putri gurumu ini, dia pasti mau."

Niat bercanda, namun refleks tanggapan wajah Samsuar seperti tertangkap serius. Dia tidak menyangka sang guru akan menawarkan seorang putri yang juga ternyata diidam-idamkan oleh ustadz-ustadz lain di tempat yang sama.

Kenyataannya? Dia juga masih berhadapan dengan masalah wanita yang bernama Monalisa. Begitu juga antara Ulayya atau Ziyada. Siapa yang akan jadi pasangan Ustadz Samsuar nanti?


Bersambung ...


Komentar

Login untuk melihat komentar!