"Ayah kenapa, Ma?" tanya Kayla yang tiba-tiba mendekatiku.
"Nggak 'papa, Sayang. Temani adeknya main, ya?" Kuelus pucuk kepala Kayla sangat lembut. Namun, bocah umur sembilan tahun itu enggan beranjak dari sisiku. Dia terus memperhatikanku.
"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa Ayah barusan marah, Ma? Kenapa Mama juga nangis? Aku nggak mau Mama bertengkar lagi sama Ayah, ya," jawab Kayla yang membuatku makin berderai air mata.
Kuciumi seluruh wajah polos anakku. Sungguh hatiku rapuh, hanya kedua putriku itulah penyemangat hidupku. Seandainya mereka tak ada, mungkin sudah kutinggalkan Mas Wilman.
"Maafin Mama, ya, Sayang. Mama belum bisa kasih yang terbaik buat Kakak dan Adik."
"Mama nggak usah ngomong gitu. Kayla sayang sama Mama dan Ayah." Lagi-lagi jawaban dari putriku makin membuat pipiku berlinangan air mata.
Aku makin terisak teringat perlakuan kasar Mas Wilman barusan. Kupandangi pintu dapur yang rusak. Sungguh aku malu dengan anak-anak juga tetangga. Suara suamiku sangat keras saat marah tadi.
Kemudian, aku beranjak ke kamar seraya mencari Nayla. Bocah tiga tahun itu ternyata sedang duduk di pojokan, sepertinya dia ketakutan ketika ayahnya marah.
"Ayo, kita mandi dulu, Sayang." Segera kudekati Nayla dan kuulurkan tangan. Dengan cepat, anakku langsung menyambut tangannku.
Ketika hendak membawa Nayla ke kamar mandi, ternyata Mbak Niken, tetangga sebelah rumah datang. Dia tampak membawa sebuah mangkuk.
"Mbak Delia, ini tadi aku masak soto." Mbak Niken mengulurkan mangkuk yang berada di tangannya.
Langsung saja kuambil. "Makasih, Mbak. Kenapa repot-repot."
Spontan Mbak Niken menatap wajahku. "Kamu habis nangis, Del?"
Aku hanya mengangguk pelan. Sebenarnya malu jika sampai tetangga mengetahui permasalahanku dengan Mas Wilman. Namun apa daya, aku juga tak sanggup bila harus memendam sendirian. Lagi pula Mbak Niken sudah kuanggap sebagai saudara. Sejak tinggal di kampung Mas Wilman, Mbak Nikenlah yang selalu ada untuk keluargaku.
"Ayo, masuk dulu, Mbak."
Mbak Niken langsung duduk di dekat pintu dapur. "Tadi aku kayak dengar Wilman marah. Kalian bertengkar?"
"Iya, Mbak. Itu dia tabrakkan motornya sampek pintunya rusak kayak gitu," jawabku lirih.
"Ya ampun, sampek segininya. Emang gara-gara apa? Oh, iya, Wilman sekarang di mana?" Kepala Mbak Niken celingukan seraya memandangi seisi rumah. Mungkin khawatir jika Mas Wilman berada di rumah.
"Barusan pergi lagi. Biasa Mbak, tiap aku curigai dia, dia selalu marah. Malah balik curiga sama aku." Aku menjelaskan pada Mbak Niken.
Kulihat Mbak Niken sesaat menghela napas. "Curiga kenapa, Del? Maaf, ya, bukannya aku mau ikut campur, tapi kamu udah aku anggap seperti adekku sendiri."
"Iya, Mbak, nggak 'papa. Gara-gara kemarin pas di rumah Ibu, Mas Wilman ketahuan SMS-an sama sodaranya mesra-mesra gitu. Terus ini tadi ada yang aneh. Pas aku telepon, kok bisa yang angkat teleponnya perempuan. Katanya dia lagi di desa ada acara di rumah warganya. Siapa yang nggak curiga kalau kayak gitu, Mbak? Tapi, Mas Wilman nggak mau ngaku." Aku seketika lemas tak bertenaga. Sungguh masih kecewa atas perlakuan Mas Wilman padaku.
"Astaghfirullah, Wilman. Suami nggak bersyukur. Udah dikasih istri cantik kayak gini, anak lucu-lucu, masih aja kurang. Dah, daripada kamu stres mikirin Wilman, mending mulai besok ikut aku senam di sanggar. Biar Nayla aja yang ikut, Kayla main di rumah sama Ajeng," ucap Mbak Niken menawariku.
Tanpa pikir panjang aku langsung menyetujui. Ada benarnya juga yang dikatakan Mbak Niken. Hiburan agar aku tidak terlalu memikirkan keanehan Mas Wilman.
"Ya udah aku pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa cerita aja sama aku. Besok, ya, kita senam bareng." Mbak Niken langsung berdiri dan pulang ke rumahnya.
Setelah Mbak Niken pergi, aku segera memandikan Nayla. Anak bungsuku itu menangis histeris ketika kusiram badannya. Ya, Nayla memang tipe anak yang takut dengan air.
Baru saja keluar dari kamar mandi, Mas Wilman pulang. Kulihat dia mengecek makanan di dalam tudung saji.
"Itu soto dari mana?" tanyanya seperti tak ada sesuatu. Padahal, baru saja dia merusak pintu dapur.
"Dianter sama Mbak Niken," jawabku datar. Sebenarnya aku masih enggan berbicara dengan Mas Wilman. Hanya saja tak ingin memperpanjang masalah.
"Makan, dah, kalau mau makan," lanjutku masih tak bersemangat.
Kemudian, kudengar suara dentingan sendok. Sepertinya Mas Wilman melahap soto pemberian Mbak Niken.
Setelah memakaikan baju Nayla, aku langsung keluar menjemur handuk. Ketika masuk dapur, tiba-tiba kucium aroma parfum soft menguar. Sesaat kutajamkan indera penciumanku, aroma tersebut sepertinya berasal dari Mas Wilman dan kutahu aroma itu bukan tipe parfum milik suamiku. Seperti aroma wanita. Mendadak pikiranku berkelana ke mana-mana. Sebenarnya apa yang dilakukan Mas Wilman hingga parfum tersebut menempel di bajunya?
Namun, aku enggan menanyakan hal tersebut. Jika sempat kutanyakan, bisa kupastikan Mas Wilman akan marah. Lebih baik akan kuselidiki secara diam-diam.
Kebetulan usai menyantap soto, suamiku meletakkan ponselnya di atas lemari piring. Kemudian, dia masuk kamar mandi.
"Dek, tolong ambilin handuk," ucapnya dari dalam kamar mandi.
Sigap kuambilkan benda yang diminta suamiku dan segera mengantarkan ke kamar mandi. Setelahnya, perlahan kuambil ponsel Mas Wilman di atas lemari piring. Entah mengapa hatiku ingin sekali mengecek telepon selulernya.
Tanganku mendadak bergetar ketika mengecek ponsel Mas Wilman. Lagi-lagi mataku membola saat melihat nama kontak Mbak Neni di daftar perpesanan suamiku. Chat mereka banyak sekali dan sangat mesra layaknya suami-istri, tapi aku membaca bagian terakhirnya saja karena takut ketahuan oleh Mas Wilman.
[Mas, gigiku sakit, nih. Obat apa yang bagus ya?]
Di bawahnya, ada balasan dari Mas Wilman. [Bentar, ya, aku tanyakan dulu. Makanya jangan makan yang manis-manis, jadinya sakit gigi, kan?]
Kemudian, wanita itu kembali membalas [Gimana nggak sakit gigi, aku sering makan Pak Babin. Pak Babin, kan manisnya melebihi gula]
Membaca pesan terakhir, hatiku mendadak nyeri, tapi sebisa mungkin kutahan. Jantungku pun spontan berdegup sangat kencang. Ternyata suamiku di luaran sana masih saja berulah. Berarti obat sakit gigi yang ditanyakan padaku tadi untuk wanita bernama Neni. Astaga, tega-teganya Mas Wilman membohongiku. Benar-benar lelaki tak ada jeranya. Ingin rasanya kucabut gigi wanita itu sekaligus dengan nyawanya. Dasar wanita ganjen.
Kemudian, kuletakkan kembali ponsel ke tempat semula. Tak berselang lama, Mas Wilman keluar dari kamar mandi. Gelagatnya tidak ada yang aneh, masih seperti biasa.
Setelah berganti baju, dia langsung memperbaiki pintu dapur. Karena pikiranku sudah berkecamuk tak keruan, langsung saja kuberondongi suamiku dengan pertanyaan.
"Mas, nama Neni itu siapa?" tanyaku dengan napas memburu.
Sontak mata Mas Wilman langsung mengarah padaku. "Staf desa. Kenapa?"
"Sampean tadi nanya obat sakit gigi, ternyata buat dia, kan? Kenapa hal kayak gitu aja harus nanya sama sampean, sih? Atau jangan-jangan kalian ada hubungan khusus?" Aku benar-benar tak bisa mengendalikan emosi.
"Kamu kalau ngomong yang sopan, ya. Mana mungkin aku pacaran sama staf desa? Sebagai babinsa ya memang seperti itu, harus bisa berbaur dengan masyarakat. Kalau kamu cemburuan, mending nggak usah nikah sama tentara. Sama tukang ojek aja sana," jawab Mas Wilman sewot.
Lagi-lagi hatiku terasa sakit. Rasa iri tiba-tiba mengisi pikiranku. Saat berbicara denganku sebagai istrinya saja seperti sedang berbicara dengan musuh, sedangkan jika dengan wanita lain bisa halus. Benar-benar keterlaluan Mas Wilman.
"Kamu itu nggak usah cek-cek HP-ku." Ucapan Mas Wilman makin membuatku geram.
Tanpa basa-basi langsung saja kuambil ponselnya dan kubuka ulang balasan pesan Mas Wilman dengan wanita lain. Hatiku makin berdesir perih saat membaca pesan mesranya dari atas sampai bawah.
"Liat, Mas, ini apa? Ternyata kamu ada hubungan spesial dengan Neni. Ternyata SMS dengan Mbak Rita itu belum ada apa-apanya. Diam-diam kamu punya gebetan di desa. Pantesan betah banget di sana," cerocosku sangat emosi.
PLAK!
Lagi-lagi Mas Wilman menampar pipiku. Seketika hujan lebat membasahi wajahku. Hatiku sakit sesakit-sakitnya. Suami yang dulu mencintaiku, kini ada wanita lain di hatinya.
"Kamu tega banget giniin aku, Mas? Salahku apa sama kamu?" tanyaku dengan suara bergetar karena menahan tangis.
"Kamu mau tau salahmu apa? Selama ini kamu cerewet banget, sama aku nggak pernah bicara halus dan selalu marah-marah," jawab Mas Wilman tak kalah emosi.
Badanku terasa lemas tak bertenaga. Tangisku pun seketika meledak. Sungguh, aku lelah menghadapi Mas Wilman yang makin hari makin seenaknya. Aku selama ini juga sering marah karena ulah perbuatannya. Istri mana yang tidak kecewa jika tahu diduakan oleh suaminya? Ya Allah, aku hanya minta dikuatkan bahuku untuk menanggung ujian dari-Mu. Hanya karena anak-anaklah aku bisa bertahan sejauh ini.