Aku termangu melihat kepergian Mas Wilman dan ibunya ke arah Timur. Dalam hati sangat tak keruan, ada rasa kekhawatiran yang begitu besar. Namun, sebisa mungkin mengendalikan diri dan berpikir positif agar hati sedikit tenang.
Selain itu, Nayla masih menangisi ayahnya. Aku berusaha mendiamkannya. Bersyukur bapak mertuaku langsung keluar dan membawa anak bungsuku ke rumah Mbak Mira, sedangkan Kayla daritadi tak mau pulang. Ya, anak sulungku itu sangat senang bermain boneka milik keponakan Mas Wilman. Maklum, anak Mbak Mira sudah madrasah dan sekolah di pondok, jadi mainannya yang ada di rumah itu yang dipakai main oleh Kayla.
Tak berselang lama, ponselku berdering. Aku bergegas masuk seraya mengecek. Ternyata telepon dari mamaku. Sigap langsung kupencet tombol berwarna hijau.
"Assalamu'alaikum, Ma. Ada apa, Ma?" tanyaku pelan.
"Wa'alaikumsalam. Kamu besok jadi ke sini, Nduk?" Mamaku balik bertanya.
Mendengar pertanyaan wanita yang melahirkanku, aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Dalam hati sangat ingin ketemu beliau, tapi setelah mendapati pesan Mas Wilman dan Mbak Rita, pikiranku jadi berubah. Ya, jujur saja aku memang merasa khawatir jika meninggalkan Mas Wilman. Takut kejadian dengan Mbak Rita terulang lagi.
"Gimana, ya, Bu. Sebenernya aku pengen banget pulang, tapi mendadak ada kegiatan di kantornya Mas Wilman," jawabku beralasan.
"Gini, jadi ceritanya Mama mau ke rumah Paklekmu yang ada di kota sebelah. Kalau memang kamu nggak jadi ke sini, biar Mama aja yang ke sana. Mumpung satu jalur." Mamaku menjelaskan rencananya.
Aku seketika bernapas lega. Alhamdulillah, meskipun memutuskan untuk tidak pulang, tapi Mama yang berinisiatif akan datang. Aku sangat senang karena bia segera bertemu dengan orang tuaku.
"Wah, beneran Ma? Alhamdulillah kalau gitu. Kapan nyampe sini, Ma?" tanyaku senang.
"Besok Mama baru berangkat ke Paklekmu. Di sana tiga hari. Habis itu baru lanjut ke rumahmu. Mau dibawakan apa?" lanjut mamaku.
"Bawakan aku sambel pecel yang dijual di perempatan jalan poros, Ma. Udah lama nggak makan sambel pecelnya Bulek Min." Aku langsung meminta oleh-oleh sambal legendaris.
Ya, meskipun di tempat tinggalku banyak yang menjual sambal pecel, menurutku rasanya tidak seenak yang dijual di kampungku. Sambal tersebut sudah ada sejak aku duduk di bangku sekolah dasar. Pasalnya bumbu pecel terlaris di kampungku itu sudah turun temurun.
"Ya udah kalau gitu, Mama mau persiapan dulu."
"Oke, Ma. Assalamu'alaikum." Setelah mamaku menjawab salam, aku langsung mematikan sambungan telepon.
Baru saja berbicara dengan Mama, suara motor terdengar dari luar. Pasti Mas Wilman dan ibunya yang datang. Aku langsung mengecek. Ternyata dugaanku benar.
Ibu mertuaku sedang menenteng belanjaan yang lumayan banyak. Belum lagi yang diangkat Mas Wilman. Tumben Ibu belanja sebanyak itu.
Aku langsung mengambil alih kantong plastik dari tangan Ibu. Sementara wanita paruh baya itu berjalan masuk. Setelah mengangkat barang belanjaan, aku mencari ibu mertuaku. Ternyata beliau sedang duduk sambil menghitung uang dalam dompetnya. Melihatku datang, wanita di hadapanku itu segera menutup dompetnya.
"Sudah semua, Bu. Belanjanya kok tumben banyak banget, Bu. Mau ada acara apa?" tanyaku penasaran.
"Oh, minggu depan ada acara pengajian di rumah. Kebetulan ketepatan di sini," jawab beliau sambil beringsut.
"Tadi belanjanya di mana, Bu?" Aku sengaja bertanya basa-basi sekaligus menuntaskan rasa penasaranku.
"Di minimarket. Emang kenapa, Del?" Ibu mertuaku justru balik bertanya.
"Enggak ada, Bu. Aku kira nggak di minimarket soalnya tadi Mas Wilman bawa motornya ke arah Timur."
Mendengar jawabanku, mendadak ibu mertuaku seperti gelagapan. "Eh, iya. Tadi Ibu memang yang minta muter karena sekalian mampir ke penggilingan padi. Kebetulan Ibu masih punya sisa panen, lumayan daripada beli beras."
Bibirku hanya membulat. Hatiku pun sedikit tenang. Ternyata mereka tidak ke rumah Mbak Rita. Lagi pula untuk apa mereka ke sana? Dasar diriku yang terlalu berlebihan. Senyumku seketika mengembang. Ah, konyol.
Kemudian, aku ke depan. Tampak Mas Wilman sedang merokok di teras bersama bapaknya. Mereka juga mengobrol santai, entah apa yang dibicarakan aku sendiri tak tahu. Tak ingin mengganggu nostalgia bapak dan anak, aku menyusul Nayla ke rumah Mbak Mira.
Ketika di rumah kakak iparku itu, kedua putriku teryata sudah tertidur. Langsung saja kuangkat Nayla terlebih dahulu ke rumah ibu mertua. Melihatku menggendong anaknya, Mas Wilman sigap ke rumah Mbak Mira seraya mengambil Kayla.
Setelah itu, aku duduk di ruang tamu sambil memainkan ponsel. Kebetulan seharian belum promosi jualan. Ya, aku memang mengisi waktu dengan berjualan online. Ikut bergabung dengan agen pakaian yang ada di Solo.
Saat sedang asyik memposting jualan di Facebook, Mbak Mira datang. Dia langsung menuju dapur. Kebetulan ibu mertuaku juga ada di sana. Sekilas kudengar percakapan mereka. Aku lagsung berusaha menajamkan pendengaran sambil berselancar di dunia maya.
"Ibu jadi ke sana?" Suara Mbak Mira sempat terdengar di telingaku.
"Udah, tapi Rita nggak ada di rumah," jawab ibu mertuaku.
Mendengar kata Rita, jantungku berdegup kencang. Langsung kuelus dada, terasa sakit di dalamnya. Sebenarnya yang dimaksud ibu mertuaku itu Rita siapa? Jika benar Mbak Rita yang baru saja bermasalah dengan Mas Wilman, beliau ke sana untuk apa? Ya Allah, tenangkanlah hatiku. Badanku seketika lemas tak bertenaga. Tak bisa membayangkan suamiku ke rumah wanita itu.
Aku perlahan meletakkan ponsel dan menyusul Mbak Mira. Begitu masuk dapur, kakak ipar dan ibu mertuaku spontan terdiam. Perasaanku mulai tidak enak.
"Maaf, Bu, tadi aku dengar Ibu sebut nama Mbak Rita. Itu Mbak Rita siapa, Bu? Bukan Mbak Rita yang ketahuan SMS-an sama Mas Wilman, kan?" Aku bicara blak-blakan.
"Oalah, Delia. Maksudnya Rita itu yang punya heler. Emang yang punya nama Rita cuma dia aja?" Spontan ibu mertuaku tertawa lepas.
Mendengarnya, aku jadi malu. Astaga, kenapa aku bisa seceroboh ini? Harusnya tadi kupikirkan baik-baik dulu. Ah, ini gara-gara wanita itu yang sudah membuat hatiku jadi resah.
Aku pun ikut tertawa untuk menutupi rasa malu. "Oh, maaf, Bu. Aku kirain Mbak Ritanya Mas Wilman." Aku langsung kembali ke ruang tamu.
Kemudian, mataku tertuju ke teras. Ternyata Mas Wilman sudah tak ada di luar. Ke mana dia pergi?
Aku melangkah ke kamar seraya mengecek, tapi suamiku tak ada. Iseng kucoba menghubunginya. Ketika kutelepon, lagi-lagi aku senam jantung. Nomor Mas Wilman sedang sibuk. Astaga, siapa sebenarnya yang ditelepon malam-malam begini?
Karena penasaran, aku keluar. Mataku memindai sekitar seraya mencari keberadaan Mas Wilman. Sayangnya suamiku itu tetap tidak kutemukan. Ketika hendak masuk rumah, tiba-tiba mataku menangkap lelaki berpakaian kaus hitam putih sedang berdiri di bawah pohon kelapa samping rumahnya Mbak Mira. Sepertinya itu Mas Wilman.
Tanpa berpikir terlebih dahulu, aku langsung ke sana. Setelah kudekati, ternyata dugaanku benar. Begitu melihatku datang, Mas Wilman tampak kaget dan langsung mematikan telepon. Aku makin penasaran. Sebenarnya siapa yang dia telepon malam-malam begini?
🌸Bersambung🌸