Aku masih belum percaya apa yang baru terjadi. Sebisa mungkin mencoba berpikiran positif. Bisa jadi itu suara warganya Mas Wilman dan masih ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Lebih baik akan kutunggu hingga suamiku pulang dan menanyakan langsung padanya.
Untuk menghalau rasa penasaranku, kuambil keranjang berisi pakaian bersih yang belum sempat kusetrika. Kebetulan Kayla dan Nayla sedang anteng karena banyak makanan di rumah. Ya, kedua anakku memang seperti itu. Jika banyak makanan di hadapannya, mereka tidak akan keluar main ataupun rewel.
Ketika menyetrika pakaian anak-anak, pikiranku kembali teringat suara wanita yang kudengar di telepon. Ya ampun, kenapa aku jadi seperti ini?
Tepat usai azan asar berkumandang, ponselku tiba-tiba berdering. Segera kukecilkan volume setrika dan melongok seraya mengambil ponsel yang berada di samping televisi itu. Saat kulihat, nomor Mas Wilman yang barusan menghubungi. Ada apa dengannya?
Karena penasaran, langsung saja kuhubungi Mas Wilman, tapi beberapa kali menelepon, panggilanku tak kunjung mendapat jawaban. Ke mana sebenarnya suamiku? Padahal baru saja menghubungiku.
Kemudian, kulanjutkan menyetrika pakaian. Baru dapat dua lembar, perasaanku mendadak tidak tenang. Masih saja terngiang suara wanita saat di telepon. Mulai membayangkan seandainya ketakutanku benar-benar terjadi. Astaghfirullah.
Aku langsung menyudahi kegiatanku menyetrika, lalu segera mengambil air wudu dan melaksanakan salat Asar. Di sanalah kutumpahkan segala kesedihan dan kegalauanku selama ini. Aku sangat yakin jika benar suamiku berselingkuh dengan wanita lain, cepat atau lambat Allah pasti akan memberikan petunjuk.
Usai salat, beban di hatiku sedikit berkurang dan pikiranku mulai tenang. Tak lama, ponselku kembali berdering. Aku langsung mengambil benda tersebut setelah mengetahui Mas Wilman yang menghubungi.
"Assalamu'alaikum, Mas," sapaku lembut, mencoba seperti biasa.
"Dek, kamu tau nggak obat sakit gigi yang bagus apa?" Mas Wilman langsung bertanya tanpa menjawab salamku.
"Siapa yang sakit gigi, Mas? Orang ucap salam itu mbok yo dijawab dulu," protesku sedikit kesal.
"Oh, iya, lupa. Waalaikumsalam. Kamu tau nggak obat sakit gigi yang bagus itu apa?" Mas Wilman mengulangi pertanyaannya.
Seketika aku mengernyit. Masih belum mengerti dengan ucapan Mas Wilman. Tumben-tumbennya suamiku menanyakan obat sakit gigi. Perasaan, selama nikah dengannya sama sekali tak ada keluhan tentang giginya.
"Emang siapa yang sakit gigi, Mas?" tanyaku penasaran.
"Ini ada warga yang nanya. Apa, Dek?" Mas Wilman balik bertanya.
"Waduh, aku nggak tau, Mas. Aku nggak pernah sakit gigi. Coba suruh aja langsung ke apotek terus tanya obat sakit gigi yang bagus apa," jawabku berusaha memberi solusi.
Namun, siapa sangka, Mas Wilman justru meremehkanku. "Aku kira kamu tau, tiwas capek-capek nelepon ternyata sama aja. Masa kamu nggak tau, sih? Percuma kuliah tinggi-tinggi, tapi nggak tau obat sakit gigi." Suamiku langsung mematikan sambungan telepon.
Hatiku kembali berdesir perih. Tega-teganya Mas Wilman berbicara kasar padaku seperti itu hanya karena tak tahu obat sakit gigi. Ya, gimana mau tahu, aku kuliah pendidikan, bukan kesehatan. Kekesalanku seketika memuncak.
Kemudian, kucoba searching di internet tentang obat sakit gigi. Setelah ketemu, langsung kutelepon Mas Wilman. Namun, panggilanku tidak dijawab. Lagi-lagi aku berpikir positif, mungkin suamiku sedang sibuk. Kemudian, segera kukirimkan via WhatsApp nama obat sakit gigi yang kucari di internet barusan.
Kuletakkan kembali ponsel di atas meja. Entah mengapa pikiranku sangat kacau. Hingga kucoba menghubungi Mas Wilman untuk ke sekian kalinya. Bersyukur saat itu teleponku terjawab.
"Kenapa?" tanyanya ketus di seberang.
"Aku tadi cari di internet obat sakit gigi, Mas. Aku udah WA barusan. Langsung aja ke apotek bilang beli obat itu."
"Oh, iya. Terus anak-anak lagi apa?" Mas Wilman menanyakan Kayla dan Nayla.
"Itu lagi main sambil nonton TV. Kalau ada makanan banyak jangan khawatir, pasti anteng," jawabku sambil melirik ke arah kedua putriku.
"Eh, iya, Mas. Aku mau nanya. Tadi sampean ke mana, kok, aku telepon nggak diangkat-angkat?" lanjutku basa-basi.
"Ya di desa, lah. Emang ke mana? Kenapa?" Mas Wilman balik tanya.
"Enggak 'papa, cuma nanya aja. Soalnya pas aku nelepon tadi yang angkat perempuan. Itu siapa, Mas? Warganya sampean, tah?" Aku masih menahan diri agar tidak emosi.
"Perempuan-perempuan matamu itu! Kamu itu selalu nuduh aku terus. Sedangkan aku juga nggak tau kamu di rumah itu pegang HP buat apa aja. Apa jangan-jangan kamu nutupi kedokmu dengan cara curiga sama aku?" Mas Wilman justru marah.
Lagi-lagi aku hanya diam seraya menghela napas panjang. Padahal aku bertanya baik-baik, tapi malah mendapat tanggapan yang tidak baik. Dadaku makin bergejolak tak keruan.
"Aku, kan, cuma nanya aja Mas. Kenapa sampean malah emosi? Kalau emang nggak ada perempuan ya sudah. Jangan sampek sampean alasan ke desa padahal ke rumah perempuan lain juga, kan, aku nggak tau," balasku geram.
"Tunggu aku di rumah. Aku pulang sekarang." Mas Wilman langsung mematikan telepon.
Pikiranku sudah kacau balau. Ada ketakutan jika Mas Wilman pulang. Pasti suamiku itu bakal marah besar. Dalam hati terus berdoa agar Mas Wilman masih bisa mengendalikan emosi karena aku tak mau anak-anak mengetahui pertengkaran orang tuanya.
Beberapa saat kemudian, suara motor terndengar dari luar. Perlahan memasuki teras. Siapa sangka kalau Mas Wilman langsung menabrakkan motornya ke pintu dapur hingga rusak.
BRAK!
"Ini yang kamu mau, kan? Orang lagi ke desa malah dibilang sama perempuan lain! Mana HP-mu!" Mas Wilman langsung turun dari motornya dan berkacak pinggang di depan pintu.
Dengan penuh keberanian kusodorkan ponsel milikku. Air mata pun perlahan menetes melihat sikap Mas Wilman yang mendadak berubah kasar.
Tampak suamiku itu mengecek ponselku. Entah apa yang dia curigai dariku. Aku palingan hanya menggunakan untuk jualan online, sedangkan selama ini yang selalu ketahuan aneh-aneh adalah dia. Sungguh egois.
Kemudian, Mas Wilman mengembalikan ponselku. Matanya masih penuh dengan kilatan amarah.
"Sampean udah ngecek HP-ku, gimana kalau sekarang gantian HP sampean aku pinjam," ucapku seraya menengadahkan tangan.
Spontan mata Mas Wilman membelalak. "Apa-apaan kamu?" Suamiku itu langsung pergi begitu saja tanpa menghiraukan ucapanku.
Tangisku seketika pecah. Aku benar-benar tidak menyangka terhadap perubahan sikap Mas Wilman. Dulu, ketika masih dinas di batalyon suamiku selalu sabar, bahkan mengeluarkan suara keras saja tidak pernah, tapi kenapa setelah pindah ke kampungnya justru berubah tiga ratus enam puluh derajat? Ya Allah, kuatkanlah hatiku demi anak-anak.
🌸Bersambung🌸