Sekolah Baru

SMA Negeri 1 Jambudipa. Lindsy membaca tulisan berwarna hitam di atas latar belakang putih di depan sebuah gedung. Ia menggigit bibir bawahnya dengan masygul. Sekolah ini, bahkan tidak sampai setengah dari sekolahnya dulu, besarnya. 

“Lin,” tegur Arkan, membuyarkan lamunan Lindsy. “Siap?”

Linsdsy memejamkan mata dan menghela napas panjang beberapa kali. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan membuat ayahnya cemas. Ayahnya sedang berusaha untuk bangkit dan mereka hanya memiliki satu sama lain. Ia tidak mau menambah beban pikiran ayahnya. 

“Ayo!”

Lindsy dan Arkan berjalan keluar dari area parkir, menuju ruang Kepala Sekolah. Mereka melintasi lapangan basket dan banyak anak-anak bermain basket di sana. Kebanyakan laki-laki. Mereka menoleh ketika Lindsy dan Arkan melewati pinggir lapangan. Suitan-suitan usil mulai bersahutan.

Lindsy mengerutkan dahi, kesal pada situasi itu. Arkan menggenggam tangan Lindsy dan berbisik. “Sebenarnya Papa sudah tahu situasi seperti ini akan terjadi, tapi Papa tidak menyangka akan merasa kesal juga mendengar mereka menggodamu.”

“Papa sok tahu,” tukas Lindsy. “Bagaimana bisa Papa tahu mereka akan menggodaku.”

“Karena putriku satu-satunya, Lindsy Arkandiana itu sangat cantik dan tidak ada laki-laki normal yang akan tahan membiarkan gadis secantik kamu lewat di depannya. Mereka itu laki-laki normal, tapi tetap saja Papa kesal mendengarnya.”

“Gombal, ah.” Lindsy memukul bahu Arkan pelan. “Tuh, kantornya sudah kelihatan.”

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Jambudipa adalah seorang laki-laki setengah baya—bertubuh agak gemuk dan suka tersenyum—Bapak Kasdi Arifin. Ia mempersilakan Lindsy dan Arkan duduk di ruangannya dengan ramah. Ia mengamati Lindsy dan tampak agak cemberut melihat pakaian seragam yang dikenakan Lindsy.

“Saya minta maaf, Pak,” ujar Kasdi kepada Arkan. “Lindsy pindah di tengah-tengah semester dan koperasi sekolah tidak mempunyai persediaan baju seragam. Jadi, sepertinya Lindsy masih harus memakai seragam sekolah lamanya sampai koperasi memesan dan menyediakan yang baru.”

“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Arkan segera. “Kami maklum, karena memang keterpaksaan kami juga harus segera pindah di tengah-tengah semester seperti ini. Saya berterima kasih karena sekolah Bapak bersedia menerima Lindsy.”

“Sama-sama, Pak. Kebetulan memang ada kursi kosong. Nah, Lindsy, setelah ini kamu akan langsung masuk ke kelas X1 IPA 3. Bapak akan memanggil salah satu teman sekelasmu untuk mendampingi kamu.”

Arkan menyentuh tangan Lindsy dan memberinya senyum tipis. Lindsy mengangguk dan membalas senyum ayahnya, untuk membuatnya tenang. Pak Kasdi keluar dari ruangan dan berbicara dengan seseorang di luar.

“Kamu tidak apa-apa, Lin?”

“Tenang saja, Pa. Aku baik-baik saja. Papa tidak perlu menunggu aku. Pulang saja dan masak yang enak. Aku pasti akan makan sangat banyak pulang sekolah nanti.”

“Hm ....“ Arkan mengangguk-angguk lucu. “Papa mengerti. Menjadi anak baru pasti akan menghabiskan energi. Papa yakin, banyak yang akan mengantre untuk berkenalan denganmu.”

“Jangan lebay, Pa,” tukas Lindsy memutar matanya. “Papa juga harus segera mulai lagi. Tabungan kita akan semakin berkurang setiap harinya.”

“Siap, Nona Besar,” pungkas Arkan cepat sambil memberi salut.

Pak Kasdi masuk ke dalam ruangan. Seorang gadis mengekor di belakangnya. “Lindsy, kebetulan ada salah satu temanmu lewat. Dia akan mengantarmu ke kelas.”

Lindsy berdiri dan menyalami tangan Arkan. Gadis di belakang Pak Kasdi maju selangkah ke sisinya dan tersenyum malu-malu ke arah Lindsy. Pipinya yang montok bersemu merah.

“Hai. Namaku Gizma.”

***

Jangan lupa like dan komennya ya. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!