Semakin larut. Semakin mencekam.
"Au!"
Suara teriakan kecil disusul tubuh yang membeku ditempat, sesaat setelah seseorang membungkam mulut seorang gadis dengan sorban.
Gadis remaja itu melotot, ketakutan memancar dari wajah lusuhnya, nafasnya memburu serasa telah mengalahkan Muhammad Zohri di laga final lari seratus meter, rintik mulai berhenti.
“Jangan teriak! Apa kau mau diarak satu kampung?” Rei menahan pita suaranya yang hampir mengeluarkan power lengkingan.
Menggigil, bibirnya gemetar, gemerutuk gigi berbunyi pada derajat celcius semakin mengecil. Netra coklatnya mengerjap, menahan tangan yang reflek menggenggam kuat.
Entah siapa teman tak diundang itu, menutup mulutnya dengan paksa seperti maling anak alias penculik untuk dijual ke luar negeri saja.
Entah mengapa hatinya tidak menolak mulutnya dibungkam seperti hendak diculik. Wangi parfum murahan yang sering terendus di beberapa baju anak sekolahan, memejam matanya menikmati kehangatan telapak tangan yang menempel membungkam mulutnya.
Sebenarnya Rei tidak punya niat untuk berteriak, teman yang mendadak muncul lebih dulu takut akan teriakannya, Jika Rei berteriak. Matilah dia yang ikut bersembunyi bersama. Ya, gadis itu bernama Rei.
Rei berusaha melepaskan diri. Ia tahu teman tak diundang itu tidak mungkin berniat jahat. Secara pakaiannya mengisyaratkan ia seorang santri. Tapi Rei tetap waspada.
“Diamlah disini! Jangan sok kuat."
Remaja laki laki itu mengencangkan cekalannya seraya menghardik tertahan. Gadis yang tengah kebingungan diam, ntah karena ketakutan atau tidak ada pilihan.
“Pamer ...pamer...pamer, ayo semua kembali ke pondok!”
Beberapa orang berteriak melewati mereka yang tak terlihat di antara sela pondok beratap rumbia, seperti ada yang mengkomandoi suara itu seperti gelombang di setiap sudut pondok.
Dari mulut ke mulut sebuah kata kode “pamer” singkatan dari pameriksaan, sebenarnya “pemeriksaan” sebuah kode kata agar tidak ketahuan diplesetkan menjadi “pamer” seperti polisi yang sedang razia.