"Apalagi ... ibumu itu, dulu pulang membawamu tanpa jelas siapa suaminya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bibitnya saja kurang jelas, gimana aku yakin bebet bobotmu pantas untuk anakku," tutur mamanya Raka tetap tak peduli dengan perasaanku yang terluka.
Aku menyeka sudut mataku yang mulai terasa hangat, meraih tangan ibu, lalu berdiri seraya menarik lembut tangan ibuku. Sudah tak ada gunanya kami tetap duduk jika hanya untuk dihina saja.
Luka hati ibu oleh hujatan yang membuatnya tak lagi bisa mengucap kata, menenggelamkan dunia ibu dalam kebisuan hingga lebih banyak diam duduk di depan jendela, menunggu kedatangan seseorang yang amat dirindunya.
Dapatkah kuhadirkan sosok yang membuncahkan rindu di hati ibuku hingga kebisuannya berganti kata?