Sinopsis
Jaka Pamegat adalah anak semata wayang Ki Seblu, mantan prajurit Mataram era Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang setelah kegagalannya mengusir Kompeni di Betawi memutuskan untuk tinggal di Kadipaten Watang dan menikah dengan anak gadis Ki Kamitua dukuh Asemjajar.
Jaka Pamegat ingin mendaftar sebagai prajurit Mataram, maka atas restu kedua orang tuanya ia berangkat ke kotaraja Mataram.
Ternyata setelah berada di Mataram, pemerintah kerajaan belum mengadakan rekruitmen prajurit baru. Bahkan di luar perkiraannya, ia menjumpai berbagai kasus yang akhirnya membawanya ke pengalaman yang mengharu biru.
Selain Jaka Pamegat dan Ki Seblu, ada banyak tokoh yang terlibat dalam cerita ini, seperti Bagus Rangga, Ranapati, Raden Pedut, Rara Ambengan, Rara Warasih, Ki Demung, Ki Ajar Logending, Tedung Gunarbo, Rahminten, Ki Lurah Gewor dan masih banyak lagi.
Tags
petualangan
fiksi
sejarah
romantika
persaudaraan
harga diri
Bab 111Senjata Makan TuanWanar tidak bertanya lagi karena pertarungan tampaknya semakin seru. Masing-masing berusaha untuk segera mengakhiri perlawanan musuhnya. Ki Demung dengan isyarat khusus tiba-tiba melenting menjauhi arena. Melihat pimpinannya melakukan tindakan tersebut Brintik langsung mengikutinya. Kali ini Rara Ambengan dan Rara Warasih membiarkan lawan-lawannya menjauhi dirinya dengan rencana masing-masing. Ternyata kakak-beradik itu mempunyai rencana sendiri. Rupanya sambil meladeni gempuran-gempuran lawan yang susul-menyusul mereka juga mengatur serangan yang membuat Ki Demung dan Brintik kebingungan, apalagi pandangan mereka sudah mulai berkurang. Rara Ambengan dan Rara Warasih sudah menduga dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata orang biasa, Ki Demung dan Brintik menghamburkan berpuluh-puluh jarum beracun yang mengarah ke tubuh-tubuh lawannya. Kedua kakak-beradik membentengi diri mereka dengan memutar pedangnya bagaikan baling-baling yang karena cepatnya terlihat seperti kilauan sinar menyilaukan. Terdengar dentingan nyaring di sekitar arena pertarungan ketika jarum-jarum yang melayang dengan kecepatan tinggi itu beradu dengan bilah-bilah pedang Rara Ambengan dan Rara Warasih. Tak satupun jarum-jarum mematikan itu mengenai sasarannya. Ki Demung dan Brintik sangat marah dan kalap demi melihat dua orang lawannya itu berhasil mementahkan serangan senjata rahasianya. “Kurang ajar, iblis betina. Rasakan yang berikut ini!” teriak Ki Demung sambil melemparkan puluhan jarum lainnya. Brintik juga melakukan hal yang sama. Rara Ambengan dan Rara Warasih benar-benar sudah menguasai tata kelahi tingkat tinggi yang diajarkan Jaka Pamegat. Putaran bilah pedang kedua gadis itu bahkan mampu membalikkan arah jarum menuju kepada orang yang melepaskannya. Akibatnya sungguh di luar dugaan, Ki Demung dan Brintik hampir bersamaan terjungkal ke tanah dengan raungan membahana memekakkan telinga orang-orang yang berada di seputar arena pertarungan. Rara Ambengan dan Rara Warasih yang tidak mengetahui penyebab jatuhnya Ki Demung dan Brintik serempak meloncat menjauhi arena dan berdiri tegang sambil pikirannya berkecamuk antara rasa heran dan terkejut. Untuk beberapa saat keduanya membisu. Matanya terus mengamati tubuh Ki Demung dan Brintik yang menggeliat menahan sakit. Dengan susah payah Ki Demung berusaha bangkit namun tidak bisa. Rasa sakit yang ditimbulkan jarum beracun itu sangat luar biasa sehingga dalam sekejap kedua orang itu seperti kehilangan seluruh tenaganya. Berbeda sekali dengan beberapa waktu saat jarum beracun belum menembus kulit mereka. Daya racun yang kuat mulai menjalar mengikuti aliran darah dalam tubuh. Ki Demung baru merasakan betapa sakitnya akibat racun yang dibuatnya sendiri. Dengan bertumpu pada kedua siku tangannya orang yang semasa kuatnya sangat ditakuti itu mencoba mendongakkan kepala dan membuka matanya untuk melihat wajah Rara Ambengan yang samar-samar. Ki Demung merasakan pukulan paling telak dalam hidupnya. Dipermalukan oleh seorang gadis muda yang ia anggap belum hilang bau kencur di kepalanya. Menahan rasa sakit dan marah hingga ubun-ubunnya, Ki Demung memuntahkan sumpah serapah kepada Ki Jagabaya. Kata-katanya terpatah-patah, “Pikatan, setan alas. Anakmu itu iblis betina rupanya. Orang mengenal Ki Demung sebagai penjahat yang kejam dan tidak mengenal kasihan. Tapi siapa mengira aku akan mati di tangan perempuan iblis anakmu itu.”Brintik lebih parah. Ia berusaha untuk membalikkan badannya, namun tidak mampu. Seluruh badannya terasa nyeri luar biasa. Matanya melotot dan mulutnya membuka lebar seolah ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Suaranya lemah dan bergetar, “Benar, kakang. Kita berdua sedang berhadapan dengan dua iblis betina dari jahanam.”Apalah artinya sumpah serapah kedua penjahat itu. Ki Demung dan Brintik terkapar tanpa daya. Puluhan jarum beracun yang menancap di tubuh mereka telah menyedot nyaris habis tenaga mereka. Bahkan tidak memerlukan waktu sepenanakan nasi bintik-bintik biru pada tubuh akibat dari daya racun yang mematikan sudah mulai bekerja. Ki Demung dan Brintik meregang nyawa dalam iringan rasa sakit yang tak tertahankan.Sunyi meratai pelataran bukit yang menjadi arena pertarungan. Rara Ambengan dan Rara Warasih bahkan tidak menyadari bahwa lawan-lawan mereka sudah terbujur kaku. Daya racun pada senjata rahasia yang mereka banggakan selama ini telah memupus hidup mereka sendiri.Jaka Pamegat, Wanar, Jalak Wareng, dan Purnajali disertai para murid lainnya hampir bersamaan muncul dari tempat persembunyian masing-masing. Ki Jagabaya dan Nyi Jagabaya pun mendekati Rara Ambengan dan Rara Warasih berdiri dan menyentuh pundak anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan kebanggaan yang tak tergambarkan. Orang tua itu tidak membayangkan anak-anaknya yang sebelumnya tidak mengerti kemampuan tata kelahi itu ternyata setelah mengikuti pelatihan dari gurunya dengan sungguh-sungguh akhirnya menjadi pendekar pilih tanding dan bahkan mampu menyirnakan Ki Demung dan Brintik, musuh bebuyutannya. Pengalaman bertarung melawan Ki Demung dan mengalahkannya membuat Rara Ambengan semakin percaya diri. Ia akan jadikan pengalaman ini untuk memperkuat keinginannya mengalahkan Raden Pedut. Hanya dengan mengalahkan putra Tumenggung Sureng Rengga itu dirinya akan terbebas dari kejaran pemuda itu. Sebentar lagi akan memasuki malam purnama dan saat itulah dirinya akan menghadapi Raden Pedut. Mengingat saat itu, Rara Ambengan merasa waktu seakan berjalan sangat lamban.Suara Ki Jagabaya memecahkan keheningan malam, “Ini malam yang sangat membanggakan. Aku tidak mengira anak-anakku dapat menyirnakan Ki Demung dan kawannya. Mereka tidak akan mengganggu keluarga kita lagi. Ayah ucapkan terima kasih kepadamu, anak-anakku. Terima kasihku juga aku haturkan untuk Tuhan Yang Maha Agung, untuk anakmas Jaka Pamegat dan semua orang Watu Glagah yang menjadi saksi kejadian malam ini.” Rara Ambengan dan Rara Warasih sudah dapat mengendalikan dirinya. Ki Demung dan Brintik menemui ajal karena terkena serangan dari jarum-jarum beracun mereka yang berbalik arah setelah berbenturan dengan putaran pedang Rara Ambengan dan Rara Warasih. Arah putaran pedang yang diajarkan Jaka Pamegat itu begitu aneh sehingga secara jitu dapat membalikkan benda yang dilepaskan ke arah datangnya serangan. Ki Demung dan Brintik tidak mengetahui kedua lawannya itu menguasai ilmu pedang ini. Rara Ambengan dan Rara Warasih mampu menguasai cara kerja putaran pedangnya sehingga menjadi senjata makan tuan bagi penyerang yang menyerang dengan cara melempar dari jarak jauh. Kedua kakak-beradik itu menjadi bingung sendiri setelah mengetahui hasil dari putaran pedang yang diajarkan oleh gurunya itu. Jaka Pamegat, Bagus Rangga, dan Ranapati sangat menguasai ilmu putaran pedang ini sehingga pada waktu terjadi penyergapan oleh Ki Demung dan kawanannya sebelum ini di Karang Bawi, Ranapati dan Bagus Rangga dapat melumpuhkan anak buah Ki Demung. (Bersambung)
Ki Demung dan Brintik akhirnya sinar oleh senjatanya sendiri.
- Tanggal diterbitkan
10 November 2021